I Got You

“Yah, cowok yang sedang  jatuh cinta memang kadang menjijikan.”

Enam

David melihat dari kejauhan, yang sebenarnya nggak jauh-jauh amat juga, Cheve yang berlari keluar bandara sewaktu paparazzi terpusat pada Greg yang kelihatan terbengong-bengong menggenggam sesuatu. Meskipun David tau kertas itu berisi apa, dia tetap penasaran. Penasaran dengan reaksi Greg nanti. “Yo, gimana Greg?” David menggelengkan kepalanya. Ternyata Greg sudah kembali. Dengan tampang tegang. “Jangan mengatakan apa-apa dulu. Diam, ngerti?” Halah, aku juga sudah tau isinya apa kok, batinnya. Tapi ia pura-pura tertarik melihat remasan kertas di tangan Greg itu. David melihat beberapa angka berjejer tertulis, sebelum Greg meremas kembali kertasnya cepat-cepat.

Nomor telepon.

      David tersenyum tipis. Klise banget, sih, pikirnya, kayak di drama-drama murahan aja. “Eh, Greg, aku belum selesai melihat! Isinya apa, sih?” protes John. Aduh, keluh David dalam hati, begini susahnya cowok yang nggak berpengalaman. Greg membalas John dengan nada yang nggak kalah sewot, “Kau nggak usah dan nggak perlu tau, hanya aku yang diberi, jadi kau, dan kau,” David mengangkat sebelah alis waktu Greg melotot ke arahnya, “nggak perlu tau.”

      David menghela napas. “Aku nggak bakal, nggak pengin, dan selamanya nggak akan mengorek informasi dari temanku yang bernama Greg.” Katanya bosan. John melotot. “Kau kok gitu, sih, Dave? Aku nggak ada sekutunya, dong!” Aduh, ya ampun, cowok ini kerjanya protes mulu, pikir David. Cowok itu mengangkat kedua tangannya menyerah. “Terserah kalian aja. Sekarang aku mau mengambil koperku dan memerhatikan kode Alfred sebelum kita ditinggal di bandara. Nah, selamat tinggal.” David melambai dan tersenyum manis.

“Ayo dong, Greg, beritau kami biar kami nggak penasaran!”

      “Nggak.”

      “Ayo, Greg! Aku kan sahabatmu dari kecil! Masak kau tega, sih?”

      “Begitulah.”

      “Ya ampun, Greg, kau tega banget.”

      “Biarin.”

      “Ayo dong, Greg! Aku penasarannnnnnnnnnnn!”

      “Bisa tolong diam, nggak?” seru David dari kursi tengah mobil itu. “Nggak! Sampai Greg memberitahuku isi kertasnya.” Balas John. Greg mendengus. “Kau bisa nggak, nggak usah kepengin tau urusan orang lain?” kata Greg pedas. John menggeleng angkuh. “Urusan temanku, urusanku juga.”

“Ya?” Alfred Hitchcook memberi kepalan tangan tanpa menoleh dari bangkunya di depan. “Ah, bukan apa-apa. Cuma suara cacing sekarat yang diduduki John aja. Oh, ya, apa tadi?” John memutar mata. Susah banget si Alfred kalau lagi telponan sama orang, penginnya semua orang di sekitarnya diam. Kalau bisa nggak bernafas sekalian. “Tuh, kalian dengar Alfred bilang apa tadi.” David berbisik keras-keras ke dua temannya yang duduk di bangku belakang. “Lucu sekali.” Greg berbisik lebih keras. “Ah, ya. Jadi kapan, Greg?” kata David lagi. John buru-buru menyela, “Apanya kapan?” tanyanya sambil berbisik keras. David nggak menjawab, dia tetap menatap Greg yang sekarang gelagapan seperti ikan kehabisan oksigen. “Wah, aku kan sudah masuk kuliah sejak minggu lalu, Dave.” Jawab Greg, lalu tertawa gugup. John mengangkat sebelah alis. Kayaknya hanya aku yang nggak tau apa-apa, batinnya, lagi-lagi. David tersenyum. “Nggak usah bohong, deh.” Ujarnya santai. Greg pura-pura merapikan rambutnya yang nggak berantakan. “Kau tau, kan, aku nggak pintar berbohong.” Jawab Greg. David menghela napas tidak sabar. “Nah, karena kau nggak pintar bohong itulah, kau sekarang kelihatan banget lagi berbohong, dasar bego.” Tukas John, belum lupa rasa jengkelnya ke Greg yang bego. “Diam. Dasar idiot.” Greg melotot ke John yang balas memelototinya garang. David mendengus.

“Itu nomor HP-nya cewek itu, John,” kata David dengan nada bosan, “dan mereka bakal nge-date. John, ternyata otakmu lelet juga, ya?” Mata John membesar, bersinar bahagia. “Sungguh, Greg?” tanyanya tidak percaya. Ia menggucang-guncangkan badan sahabatnya yang pasrah dengan semangat. “Serius?” ulangnya. David membalas tatapan Greg yang minta dikasihani dengan tatapan yah-mana-aku-tau-John-bisa-begini-heboh-dan-bego. “Oke, John, lepasin teman kita yang lagi jatuh cinta, dong.” Kata David akhirnya. “Oh, sorry Greg. Nggak nyadar tadi. He he.” Nggak nyadar? Batin David nggak percaya. Greg menggaruk kepalanya. “Nggak usah salah tingkah gitu, deh.” Sindir David sambil nyengir. Greg menurunkan tangannya. “Siapa bilang? Nggak, kok.” Balasnya sewot. “Jadi gimana?” John bertanya dengan semangat dan antusias. Greg pasang tampang bego. “Apanya gimana?”

David memukul kepala Greg yang di dekatnya. “Astaga, Dave! Apaan, sih?” seru Greg kesal. David menyilangkan kaki. “Nggak usah berputar-putar, ngerti? Anak Brown kok lemot banget.” Kata David nggak kalah kesal. Greg pura-pura berpikir keras, “Aduh, iya ya. Mentang-mentang anak Harvard…” Mendadak ucapannya terhenti sampai situ. Greg mengerjap. “Oh, iya ya!” gumam Greg. John menepuk paha Greg. “Bisa, nggak, langsung ngomong aja, Greg? Aku sudah lumutan, lho, ngomong-ngomong.” Ujar John. Greg melipat tangan. “Sure. Kalau aja kau mau memindahkan tanganmu yang indah ini dari pahaku. Aku juga sudah berkarat, lho, ngomong-ngomong.” John segera memindahkan tangannya dari paha Greg. Sekaligus tengsin juga, takut dikira yang nggak-nggak sama David yang nyengir usil padanya. David mengetuk-ketukkan jarinya di sandaran kursi. “Tik tok tik tok.”

Greg mencondongkan badan ke depan. “Tapi janji, ya, ini rahasia kita bertiga.” Bisiknya. “Oke!” David dan John kompak menjawab. “Siapapun yang melanggar janji ini akan jadi perjaka selama hidupnya.” Kata Greg lagi. “O Apa maksudmu?” Kali ini cuma John yang menjawab. David hanya tersenyum melihat kebegoan temannya sedang kambuh. “Oke, jadi gini.” Greg berdeham, membuat teman-temannya ikut deg-degan. “Aku dapat nomor HP-nya..”

“Aku sudah tau, sih.” potong David cepat. Greg mendengus. “Soalnya tadi aku menawarkan jadi guide di Washington ini.”

“Nah, kalau itu aku nggak tau.” Potong David lagi. Greg melotot. “Bisa diam, nggak?” John menengahi.

“Tapi gara-gara paparazzi tadi itu, jadi kami nggak sempat berbicara lebih lanjut. Mungkin dia memberi aku nomor HP-nya supaya aku bisa menghubunginya.” Lanjut Greg. “Tapi sekarang aku nggak tau mesti ngapain. Kalau aku menelpon sekarang, atau SMS, nanti ketahuan, dong, aku naksir. Tapi kalau nggak, aku bakal dikira sombong karena nggak menghubungi lebih dulu. Soalnya aku pernah baca di Twitter kalau cewek

      “Nggak usah curhat, bisa Greg?” potong David. Greg menghela napas kesal. “Nggak usah bikin aku pengin mencakar mukamu, ya, Dave. Menurut kalian, aku harus gimana ini?” John mengamati wajah Greg yang gabungan antara bingung, cemas, dan senang. “Cowok yang jatuh cinta memang idiot banget, ya.” gumamnya tanpa sadar. “Mendingan kau telpon saja dia, Greg. Nggak salah, kok, cowok bertindak lebih dulu. Malah cowok kayak begitulah yang biasanya disukai para cewek.” Ucapan David membuat John tersadar dari pikirannya yang kemana-mana tadi. Greg memandang David ragu. “Beneran?”

      “Beneran. Karena cewek nggak suka memulai duluan.” Kata David tegas. Greg berpikir-pikir. “Oke deh. Kalau gitu menurut kalian aku harus membawa dia kemana aja?” John menyipitkan mata. “Kau nggak tau Washington, ya?” tebaknya. Greg menggigit bibir. “Nggg… iya.” Suara Greg pelan sekali, tapi cukup untuk membuat cengiran David muncul lagi. “Kau harus Googling, Greg. Karena aku juga nggak tau.” jawab David sambil nyengir.

Cheve melihat jam di smartphone-nya. Jam setengah lima sore setempat. Dan belum ada telepon masuk dari cowok itu. Cheve menepuk dahinya. Apa-apaan sih? Masak dia menunggu telepon Greg? Cheve menggeleng-gelengkan kepalanya. Ini kacau banget. Pasti karena ini hari pertamanya di Harvard. Cheve berjalan keluar kelas sambil memeluk beberapa buku di lekukan tangannya. Hari pertama nggak berat-berat amat, sih. Meskipun nggak ringan-ringan juga. Cheve mengambil napas lega menghirup angin musim gugur sewaktu berjalan di trotoar dekat Harvard. Melegakan sekali. Jalanan nggak terlalu ramai sekarang, lebih banyak kendaraan umum yang berwarna cerah. Cheve mendongakkan kepala, melihat pohon-pohon di sepanjang jalanan itu dan daun-daunnya yang berwarna lembut. Ungu muda, ungu tua, coklat, dan oranye. Cheve memejamkan mata dan tersenyum. Indonesia tidak punya musim gugur, dan warna daun-daunnya itu-itu saja. Tapi musim gugur di Amerika Serikat memang bagus. Dan unik.

Cheve membuka matanya dan melihat sebuah cafe kecil seberang jalan. Gadis itu berpikir sejenak, lalu mulai melangkah ke cafe di seberang jalan itu. Aduh, tapi disini, kan, nggak seperti di Indonesia yang boleh menyeberang sembarangan. Cheve mengeluh mengingat peraturan di AS yang ketat. Terpaksa ia mencari zebra cross dan menunggu lampu merah untuk penyeberang jalan menjadi hijau. Gila, cafe-nya, sih, dekat, tapi kok jalannya mutar-mutar gini, sih, batin Cheve. Fiuh, akhirnya sampai juga. Cheve menggantungkan mantel kremnya di gantungan jaket dekat kasir cafe itu. Wah, cafe ini colorful banget, pikir Cheve kagum. Warna wallpaper-nya ditabrak, warna hijau, ungu, oranye, dan biru, penerangannya juga terang dan menyenangkan. Para waitress memakai seragam yang imut dan lucu khas tokoh-tokoh yang ada di glomsocial.com. Aduh, imut banget! Pekik Cheve dalam hati. Yaa, nggak imut-imut juga, sih, soalnya sekilas cafe ini malah memberi kesan kanak-kanak, apalagi kayaknya sekarang di bagian belakang cafe ini sedang berlangsung pesta ulang tahun anak-anak. Tapi nggak masalah, juga, kok, pikir Cheve, anak-anak itu juga nggak ramai-ramai banget. Pantas aja para pelayan lalu lalang ribut daritadi. Cheve mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Hmmm, banyak kursi kosong kok. Kayaknya yang dekat situ enak tempat duduknya.

“Cheve!”

      Cheve celingukan. Perasaan tadi ada yang memanggil namanya. Apa ia salah dengar, ya?  “Chevelanne!” Cheve menoleh ke arah kanan, dan dilihatnya ketiga cowok yang tadi pagi sepesawat dengannya. John melambaikan tangan dan tersenyum. Cheve berjalan ke meja mereka.

“Welcome.” David mempersilahkan Cheve duduk di seberang tempat duduk David.. sebelah Greg? Uh-oh. Cheve duduk sambil tersenyum, agar nggak ketahuan perasaan hatinya. “Mau pesan apa?” Greg menyodorkan daftar menu ke Cheve . “Oh, ya, Cheve, bagaimana menurutmu?” tanya John sambil tersenyum bangga. Cheve terbengong-bengong.

Greg memakai kacamata dan syal yang besar dan tebal warna merah marun yang menutupi bagian wajahnya sekitar hidung dan mulut, dan yang norak karena nggak sesuai dengan  bajunya hari ini. John lebih parah, cowok itu memakai masker kayak sakit penyakit mematikan yang bisa menular melalui udara plus kacamata besar yang nggak sesuai banget dengan bentuk mukanya yang bundar. Yang paling ‘baik’ adalah David. Cheve jadi ingat, David memakai kacamata dan topi yang sama seperti di pertemuan pertama mereka. David berdeham, membuat Cheve mengedarkan pandangannya ke sekeliling cafe. “Mmmm.. cafe ini lucu, ya.” kata Cheve sekenanya. Ia mendengar Greg tertawa kecil di sebelahnya. “Kenapa?” tanya Cheve. Kayaknya nggak ada yang lucu, deh. Greg masih tersenyum sewaktu menjawab Cheve, “Nggak. Lucu aja. Kelihatan banget kau pengin ketawa ngeliat kami, cuma kau menahannya. Kau imut waktu menahan tawamu.”

Cheve merasa jantungnya berdebar lebih cepat. Tunggu, kenapa jadinya begini?

      Karena Greg bisa membaca pikirannya. Dan karena Greg bilang ia imut.

      Cheve melirik David dan John yang pura-pura melihat ke arah lain dan tersenyum ditahan. Sekarang Cheve bisa merasakan apa yang dinamakan kupu-kupu berterbangan di dalam perut itu. Selama ini Cheve memang jarang berinteraksi langsung dengan para cowok, karena memang nggak ada cowok yang tertarik padanya. Tapi semenjak ia disini, David memanggilnya cantik, Alfred menyebutnya ‘spesies langka’, John menganggapnya unik, dan sekarang Greg memberitahunya kalau dia imut.

Tapi kenapa hanya pengakuan Greg yang membuat Cheve senang?

“Well.. thanks, Greg. Aku nggak tau kalau aku imut, lho.” Balas Cheve sambil tersenyum sekilas, ia menelusuri daftar menu. Greg kaget. “Orang tuamu nggak pernah bilang?” katanya dengan nada shock. Cheve jadi ikutan kaget. “Oh, nggak. Bukan, eh, maksudku, nggg, jadi kayak, mmmmm, gitu deh.” Mana mungkin Cheve bilang baru kali ini ia dipuji orang luar? Bisa-bisa ketiga cowok ini ngakak dan ia jadi bahan tertawaan bertahun-tahun. Aissshh. Cheve menenggelamkan pikirannya melihat daftar menu. Tiba-tiba jemari David menunjuk ke suatu menu di daftar menu itu. “Green tea disini enak, lho. Meskipun nggak pakai madu.” katanya pada Cheve. Greg berdeham keras. “Oh, jadi kau suka green tea, Cheve?” tanya Greg. “Ya, jelaslah, dasar idiot.” Gumam John. “Nggg.. iya. Kau suka?” jawab Cheve. Greg mengangguk cepat. “Iya, aku juga suka.” Kata Greg, tidak mengalihkan pandangannya dari Cheve ke dua sahabatnya yang kompak mengangkat alis.

“Yah, cowok yang sedang  jatuh cinta memang kadang menjijikan.” Pikir Greg. “Aku pesan green tea, deh. Kalian sudah pesan?” Cheve mengangkat tangan, memanggil seorang waitress mencatat pesanannya. “Sudah, tenang saja.” Jawab David.

“Jadi.. tumben kalian keluar?” Cheve membuka obrolan. “Keluar? Maksudnya?” John mengerutkan kening. Cheve mengangkat bahu. “Biasanya aktor lebih suka pesan delivery ke rumah daripada keluar dengan resiko besar.” David nyengir. “Ah, sebenarnya kami penginnya juga begitu, tapi

      “Tapi semua delivery order ditutup hari ini.” potong Greg. Wajah Cheve berubah dari halo-tumben-kalian-disini menjadi hah-ada-apa-hari-ini. Greg tertawa. “Nggak ada apa-apa, kok. Aku, maksudku kami, pengin cari udara segar aja.” Tambah Greg. John mendengus. “Aku ke toilet dulu, ya.” pamitnya. David ikut berdiri. “Aku juga, ya.” kata David. Cheve tercengang. “Kalian berdua sekamar mandi?” gumamnya tidak percaya. “Ya enggaklah!” sambar John yang bisa medengar sekecil apapun gumaman seseorang. Cheve langsung memasang wajah aku-menyesal-seumur-hidupku dan menjawab “iya” pada ijin mereka berdua.

Buset, cepat amat jalannya, batin Cheve melihat dua cowok itu nyaris berlari ke toilet. “Jadi.. kau baru pulang dari Harvard?” pertanyaan Greg menyadarkan Cheve bahwa ia tidak sendirian. “Nggg… iya. Kenapa memangnya?” tanya Cheve balik. Perasaan bahwa hanya ada ia dan Greg di meja ini membuatnya aneh. Greg mengacak rambutnya, “Ooh, nggak apa-apa. Nanya aja.” Jawab Greg singkat. Sejenak Cheve mengamati Greg. Kenapa rasanya ada yang salah, ya? Cheve menjentikkan jarinya. “Greg, kenapa rambutmu belum dicat pirang?” akhirnya Cheve menemukan kejanggalan di diri Greg.

Cowok itu kelihatan bingung sebentar, lalu, “Ooh, itu. Iya, sih, Pete rambutnya pirang, dan rambutku coklat, tapi Alfred bilang nggak apa-apa. Lagian syutingnya masih dua minggu lagi, kok.” Cheve mengangguk-angguk. “Tapi rambutmu yang sekarang juga bagus, kok, Greg.” Puji Cheve, kali ini tulus. Rambut Greg yang coklat tua dan halus dan lembut memang bagus. Apa lagi biasanya yang Cheve dengar, kalau syuting ataupun premiere rambut para aktor dikinclongkan jadi tambah bagus. Wah, nggak kebayang deh.

“Gimana kalau rambut pirang? Kau bakal tetap suka atau nggak?” tanya Greg langsung. Cheve terperangah mendengar nada suara Greg yang seakan bernada sama dengan, “Kalau aku pirang, apa kau bakal tetap suka denganku?” Diam! Cheve memerintah otaknya supaya tidak berpikir aneh-aneh. “Mmm.. lihat nanti, deh.” Gurau Cheve. Greg tersenyum dan mengalihkan pandangan ke arah lain. “Oh, ya, Greg, kapan hari kau bilang kau masuk Brown, ya?” tanya Cheve.

Greg menyipitkan mata. “Kurasa aku mengatakannya tadi pagi, bukan kapan hari.” Koreksinya. Cheve terbatuk-batuk kecil. “Mmm.. maksudku juga begitu.” Cheve membela diri, “Kalau begitu kau lagi cuti sekarang?” Greg menoleh, memandang Cheve, “Nggak juga. Aku sekarang kalau lagi nggak di LA ikut program LDE, Long Distance Educationship. Pernah dengar, kan?” jelas Greg. Cheve menyipitkan mata. “Iya juga, ya. Aku nggak pernah kepikiran sebelumnya. Apa Harvard juga bisa seperti itu?”

      Greg mengangguk. “Tentu aja bisa. David, kan, anak Harvard. Dia juga ikut program LDE, tapi dia jurusan seni dan teater. Kau jurusan ap

      “David anak Harvard?” potong Cheve nggak percaya. Greg mengangguk. “Iya. Masak kau nggak tau?” Cheve menggeleng. “Nggak, tuh.” Jawab Cheve polos. Keheningan menyelubungi mereka sesaat. Tiba-tiba Greg berdiri. “Sebentar, ya, Cheve.” Lalu berjalan ke toilet.

“Permisi.” Seorang waitress mengantarkan pesanan green tea Cheve. Cheve mengucapkan terima kasih dan melingkarkan kedua telapak tangannya di cangkir hangat itu. Baru saja ia mau menyesap tehnya sewaktu Greg datang.

“Cheve, mau jalan-jalan?” ajaknya. Cheve menyesap tehnya sedikit, lalu berdiri, “Oke. Tapi tunggu, aku titip uang dulu buat tehku, nanti

      Greg menggandeng tangannya. “Nggak usah. Biar kutraktir saja. Yuk.”

 —

      Greg tidak melepaskan tangan Cheve dari tangannya sejak mereka keluar dari cafe itu. Dan Cheve juga tidak menarik tangannya. Mereka berjalan santai berdampingan di trotoar jalanan Washington D.C yang ramai. Langit sudah mulai gelap. “Greg, kita mau kemana, sih?” tanya Cheve lagi. Greg tidak menjawab, ia tersenyum dan menggandeng Cheve lebih erat. Tangan gadis itu agak dingin. Greg jadi sadar. Tadi ia menarik gadis itu keluar cafe tanpa bertanya apa Cheve menggantungkan jaket di gantungan jaket di cafe itu atau tidak. Yah, nasi sudah jadi bubur.

Greg berhenti, membuat Cheve ikut berhenti. “Apa kita sudah sampai?” tanya Cheve polos. Greg nyaris tertawa melihat betapa polosnya cewek ini. Seandainya ia tipe cowok yang mau macam-macam, gampang banget memperalat cewek ini. Tapi nggak. Greg bukan cowok seperti itu. Apalagi pada cewek yang ditaksirnya. Greg melepas syalnya yang tebal, yang dipakainya untuk menutupi sebagian wajahnya tadi.“Angin yang terlalu kencang nggak baik untuk badanmu. Aku cowok, jadi nggak apa-apa.” Kata Greg sambil  memasangkan syalnya di sekitar leher Cheve saat gadis itu berniat menolak. Masa bodohlah, syal itu nggak matching ataupun jelek, yang penting manfaatnya. Selesai memasangkan syal di leher Cheve, Greg melihat lagi. “Hmmm.. bagus lho hasil karyaku.” pamernya pada Cheve. Gadis itu tersenyum. “Trims.” Gumamnya. Greg tersenyum, lalu menggandeng tangan Cheve.

“Ini apartemenmu, kan?” tanya Greg beberapa menit kemudian. Ia menunjuk ke apartemen di seberang jalan. “Kau.. kok tau?” tanya Cheve kaget. Greg tertawa. “Aku bisa tau semua hal kalau aku mau.” Jawab Greg misterius. “Ooh, beneran?” pancing Cheve. Greg mengangkat bahu. “Sungguh.”

      “Kalau begitu aku masuk dulu, ya. Trims buat tehnya. Dan ini

      Greg menghentikan gerakan Cheve yang akan melepas syalnya. “Apa kau suka permainan?” Dada Greg berdebar keras, mengingat dekatnya jarak antara ia dan Cheve, dan juga kata-katanya yang terdengar seperti cowok brengsek. Cheve tersenyum kecil. “Tergantung permainan apa.” Jawabnya. Greg berusaha mencari oksigen sewaktu Cheve menanggapinya. “Apa kau suka dengan permainan 30 hari?” pancing Greg.

Cheve mengerutkan kening. “Permainan 30 hari?” ulang gadis itu. Greg mengangguk. “Kita kencan selama 30 hari.. dan lihat hasilnya. Bagaimana?” Greg melihat sinar terkejut di mata Cheve. “Selain untuk chemistry kita di film nanti..” Greg menambahkan dengan suara lirih, “juga untuk memastikan hatiku.”

      “Apa?” Perkataan terakhir Greg tidak terdengar Cheve. Mungkin karena lalu lalang kendaraan di jalan raya yang ramai. Tapi maaf aja, Greg nggak bakal mau mengulang bagian itu. “Bagaimana?” tawar Greg lagi.

“Oke.” Jawab Cheve, “Aku setuju.”

Greg menelan ludah. Bibir Cheve terlihat menggoda dengan sapuan lip gloss atau lip balm apa itu namanya. “Well, kalau begitu, sampai jumpa besok, Cheve. SMS aku kalau kau sudah selesai kuliah, oke?” Greg berusaha melihat ke arah lain. Cheve mengangguk. “Oke. Mungkin sekitar jam 4 besok. Oke, see ya.” Cheve tersenyum.

Greg melepaskan kedekatan mereka barusan. Bahaya. Berdekatan dengan Chevelanne sangat berbahaya bagi otaknya. Tidak bisa berpikir jernih dan kehabisan oksigen. Greg kaget waktu Cheve memeluknya. “Good night.” kata Cheve, lalu berbalik dan berjalan ke arah sebaliknya.

Tidak untuk kedua kalinya. Greg menyambar pergelangan tangan Cheve dan menariknya mendekat. Sebelum gadis itu sempat protes Greg mendaratkan ciuman di bibir Cheve. “Good night.” kata Greg, lalu berjalan kembali. Tanpa menoleh ke Cheve yang masih belum sadar dari kekagetannya.

[TBC]

Hey, ada ralat dikit, yah. Di chap 5 itu nanti Greg nya masih rambut coklat yah  (maappp author tidak bertanggung jawab ini T.T) he he. Thank u for reading, guys! Like and comment if you like?

love always,

Green

Leave a comment