I Got You

“Tiga tanda tanya itu adalah simbol dari pertanyaan yang akan terjawab, misteri yang akan terpecahkan.”

Tujuh

“Ups, maaf Nona.”

Cheve seperti tersengat waktu seorang pria setengah baya tidak sengaja menyenggolnya. Cepat-cepat ia membalas pria itu dengan gumaman semacam ‘tidak apa-apa’, lalu menyeberang zebra cross secepat mungkin. Ia hanya pengin segera berada di kamarnya dan.. Cheve nyaris berlari ke lift yang hampir menutup. Oh, ternyata seorang cewek juga. Kelihatannya seumuran. “Trims.” Kata Cheve pada gadis itu. Ia yang menahan lift agar Cheve bisa masuk. Gadis itu tersenyum ramah. “No problem.” Cheve tersenyum.“Kamu tidak apa-apa?” tanya gadis itu tiba-tiba. Cheve gelagapan. “Ah, iya. Nggak apa-apa, kok. Memangnya kenapa?” Cheve tertawa sealami mungkin. Lawan bicaranya tersenyum kecil. “Nggak. Wajahmu kayak habis dicium cowok keren aja.”

      Perkataan santai gadis ini barusan serasa menonjok kepalanya yang sekarang berputar-putar mencari alasan. Ting. Pintu lift terbuka. “Aku duluan, ya. Kalau aku boleh saran, istirahatlah yang cukup. Daah.” Gadis itu keluar dari lift dan melambai pada Cheve, sebelum akhirnya pintu lift tertutup kembali. Cheve melihat angka di mesin canggih itu. Ooh, jadi dia di lantai 9, batinnya. Gila, mungkin gadis tadi mengatakannya tanpa maksud apa-apa, tapi dugaannya barusan itu tepat mengenai sasaran. Cheve memejamkan mata kuat-kuat, berharap otaknya bisa berhenti sebentar menjejali sensasi yang dirasakannya tadi. Sekarang yang paling diinginkannya adalah tidur di kasur dan melupakan kejadian barusan. Dan kalau bisa Cheve berharap bisa ditelan bumi sekalian supaya nggak perlu ketemu Greg lagi. Cheve nggak bisa membayangkan apa yang akan terjadi nantinya kalau sampai ia salah bicara, salah tingkah, dan lain-lain.

Cheve berlari kecil ke kamar apartemennya setelah pintu lift terbuka. Cheve berdecak kesal waktu kunci kamar apartemennya di tas tidak ketemu-ketemu. Sok jual mahal amat sih, pikirnya. Tapi kemudian dia teringat ternyata kuncinya disimpan di respsionis. Cheve langsung melengos. Kenapa dia jadi ceroboh begini, sih? Mana konyol banget lagi, pake lari-lari di apartemen. Terpaksa sekarang ia harus ke lobby lagi, dan minta kunci kamarnya ke resepsionis. Dengan malas Cheve menyeret kaki ke lift, yang untungnya langsung ada, dan menekan tombol 1, lantai 1 atau lobby. Haduh, males banget, batinnya. Tanpa sadar disentuhnya bibir bawahnya, kebiasaan kalau lagi kesal, bosan, dan semacamnya. Cheve tercengang kemudian. Sialan, kenapa jadi teringat lagi?

Tadi sewaktu Greg menciumnya, Cheve harus melawan keinginan untuk membalas ciuman Greg. Meskipun ini Amerika yang bebas, tetap aja Cheve nggak boleh melupakan darimana ia berasal dan budaya yang berlaku. Itu mengerikan banget, pikir Cheve. Sewaktu Greg melepaskan ciumannya dan berbalik pergi sesudah bergumam selamat malam, Cheve masih agak tidak sadar antara dunia nyata dan khayalan, sampai ada orang menabraknya. Yaa nggak menabrak sih, cuma menyenggol. Tapi rasanya kayak tabrakan beruntun. Gimana nggak, tadinya Cheve, kan, belum sepenuhnya sadar. Tau-tau ditabrak seperti itu. Kayak disetrum listirk berjuta-juta watt. Oke, itu berlebihan, tapi memang kayak gitu rasanya setelah dicium cowok keren, dan lebih parah lagi itu ciuman pertama.

Cheve menelan ludah susah payah. Sedangkan teman-temannya berciuman pertama kali semasa mereka SMA, Cheve bahkan nggak tertarik untuk sekedar berkenalan dengan cowok. Dulu ia sering ngeri sendiri membayangkan kemungkinan ia menyukai sesama jenis. Iih. Enggak banget. Tapi dulu memang begitu kejadiannya.

Pintu lift terbuka dan Cheve berjalan secepat mungkin ke meja resepsionis, tanpa berlari. Meskipun langkah-langkah kakinya yang lebar membuat orang-orang mengira ia bakal mendemo pemerintah di Gedung Putih. “Kunci kamar nomor 33, please.” Ucapnya pada petugas respsionis wanita yang bertugas. Cheve mengernyit waktu petugas resepsionis itu menatapnya dengan sebal, lalu membuka sebuah laci yang berisi banyak kunci kamar. Cheve melihat-lihat sekitar. Ooh, ada TV di dekat meja respsionis. Cheve melirik petugas respsionis yang sedang sibuk mencari kunci kamarnya sambil mengambil kesimpulan. Kayaknya filmnya seru banget, sampai-sampai dia sebal waktu aku meminta tolong, pikir Cheve. Ia baru akan mulai menyimak film di TV sewaktu kuncinya ditaruh dengan keras di meja respsionis. “Trims.” Kata Cheve pelan pada petugas resepsionis yang matanya sudah terpaku di TV lagi. Tiba-tiba petugas resepsionis itu meremas tangan Cheve, dan bergumam penuh semangat, “Aduh, lihat itu! Akhirya mereka berciuman juga!” Cheve langsung melihat ke TV, dan seketika dirasakannya wajahnya memanas, bukan sekedar menghangat.

Cowok di film itu mencium ceweknya di trotoar jalan, dan si cewek mengenakan syal hijau. Sial, sial, sial. Cheve mengutuk siapapun yang menulis skenario itu. Kenapa jadi mirip banget dengan yang tadi? Cheve memejamkan matanya. Harusnya tadi ia sudah lupa dengan kejadian barusan, kenapa sekarang ingat lagi? Dilepaskannya genggaman petugas resepsionis yang jutek itu, dan Cheve nggak peduli, ia berlari menekan tombol lift, dan masuk ke dalam lift. Ditekannya angka 13 dan berdiri tegang. Gila, kenapa dirinya jadi nggak keruan begini? Cheve memegang dahinya. Apa ini tangannya yang panas, atau dahinya yang panas, atau dua-duanya panas? Cheve membuang napas dari mulut dan merapatkan syal merah.. Greg. Tercium bau harum cowok itu di syal yang melingkar di leher Cheve. Bau yang menenangkan dan harum. Cheve nggak akan mau mengakuinya, tapi ia masih bisa merasakan bibir Greg menekan bibirnya dengan kuat.

Hoekkkkk. Mendadak Cheve pengin muntah. Apa yang dipikirkannya barusan? Mengerikan banget. Masak iya, Greg menciumnya sekuat itu? Cheve menggigit bibir bawahnya. Kenapa ia bisa seheboh ini?

Karena ini pertama kalinya dia dicium. Di bibir.

Semoga nggak ada yang memergoki kami berciuman, soalnya kalau nggak bisa-bisa aku punya haters duluan sebelum jadi aktris, batin Cheve.

“Ooh. Jadi dia mengantar Cheve pulang? Oke, kalau begitu aku lega. Siappp. Good night.” Alfred melempar iPhone-nya sembarangan ke kasur. Lalu ia ikut melemparkan diri ke kasur yang empuk dan nyaman. Bibirnya membentuk seulas senyuman. Sudah seminggu ia tidak berbaring di kasur manapun. Entah kasur di rumahnya, kasur apartemen, karena sibuk mengejar tiket pesawat tujuan Washington D.C hari ini. Aah, tapi ternyata semuanya jadi lebih gampang, batinnya lega. Tadinya Alfred mengira sampai harus menyewa FBI segala demi menemukan seorang mahasiswa Harvard bernama Chevelanne Thaddeus, tapi ternyata mereka bertemu di bandara. Alfred menguap lebar. Aneh, ini baru jam 9 kayaknya, pikirnya, kenapa udah ngantuk? Bagi Alfred, jam tidur itu jam 12, atau jam 2. Jam 9? Saatnya mulai bekerja, dong, bukan jam tidur. Tapi mumpung hari ini tidak ada yang harus diselesaikan, dan juga dikerjakan, jadi Alfred senang-senang saja jam segini sudah mengantuk. Sekalian membayar jam-jam tidur yang kurang, dan juga menyegarkan diri. Kayaknya sama saja, kan, artinya? Alfred bangkit dari posisinya barusan, dan mulai membongkar koper. Sebenarnya nggak membongkar koper, sih. Sutradara itu hanya mengambil tas kecil berisi peralatan mandi dan piyama. Sambil bersiul Alfred ke kamar mandi dan bersih-bersih diri.

“Aduh leganyaaaaaaa.” Serunya sambil menguap. Sudah memakai piyama, Alfred mencari iPhone-nya yang tersesat di kasur, dan mematikannya. Ini jam tidur, bukan jam kerja. Ditaruhnya iPhone di meja seberang kasur, dan kemudian menyalakan lampu kecil di meja itu, dan mematikan lampu kamar. Berbeda dari sebagian besar orang yang tidur dengan kegelapan total, Alfred selalu memakai lampu kecil di kamarnya, alih-alih gelap total. Yah, kalau ada yang harus disalahkan, salahkan saja orang itu, Alfred tersenyum kecil. Ia berbaring di kasur, berusaha menemukan posisi yang enak untuk tidur. Tapi yang terjadi malah ia berguling kesana-kesini dengan suara menggeram berat. Dengan sekali sentakan, selimut sudah tidak menutupi dirinya lagi. Nah, kayaknya begini enak, Alfred memejamkan mata. Tangannya dimasukkan ke kantong baju, dengan maksud menghangatkan, ketika sebuah benda bergesekan dengan kulit tangannya. Alfred mengerang. Astaga, sulit banget tidur lebih pagi. Ia menarik benda itu dengan kasar dari kantongnya, dan membuka mata. Lalu tertegun. Kenapa foto ini ada disini?

“Dave, kau sudah telepon Cheve?” tanya John sambil melihat-lihat isi kulkas. David mengangkat bahu, “Menurutmu apa bisa aku menelpon cewek yang bahkan nggak kuketahui nomor HP nya?” John tersenyum masam. “Ya aku kan nggak tau.” Cowok gempal itu membela diri. David berdiri dari kursi yang didudukinya. “Ada apa di dalam?” tanyanya membuka pintu kulkas. “Ini benar-benar bukan apartemen kita, Bung!” soraknya pada John yang mengangguk-angguk dengan maklum. “Tapi satu kaleng coke lima dolar, Dave.” katanya kalem. David mengalihkan perhatian dari kulkas. “Apa?” sahutnya dengan tidak percaya. “Tapi kenapa? Bukannya kita sudah menyewa apartemen ini? Memangnya

      John berdecak. “Ya mana aku tau? Coba kau tanya ke managernya saja.” balas John. “Yah, nggak jadi pesta popcorn, dong.” David menutup pintu kulkas dengan malas. “Lho, ada popcorn disitu?” tanya John bingung. Rasanya isinya tadi hanya kaleng-kaleng minuman. “Ya nggak, sih. Tapi kalau kau mau mentraktir aku malam ini, besok kubelikan popcorn pinggir jalan sebanyak yang kau mau.” jawab David. “Haaaaah.” John membalas ogah-ogahan. David nyengir, lalu duduk di kursi tinggi meja makan. “Eh, ya, tadi kau nyuruh aku menelpon Cheve memangnya ada apa?” tanya David teringat lagi. John menarik kursi tinggi di sebelah temannya itu, “Nope. Aku cuma pengin tau apa Greg masih sama dia atau nggak, soalnya ini udah malam. TerusADUH!”

David langsung meloncat turun dari kursi tingginya, 78 persen kaget gara-gara John yang gagal duduk di kursi tinggi dan—karena kepleset menginjak pijakan di kursi tinggi—terjembab ke lantai dengan suara berdebum yang dikategorikan HQ. Setelah sembuh dari rasa kagetnya yang hanya berlangsung beberapa detik, David langsung ngakak. John yang tadinya terharu dengan perubahan sikap sahabatnya ini jadi tambah kesal dan malu. “Jangan ketawa mulu! Bantuin, dong!” bentaknya ke David.  Karena temannya yang sedang tertawa dengan suaranya yang menggelegar itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan menolong, John berdiri sendiri dengan menahan malu. Bisa-bisanya tadi ia kepleset sewaktu menginjak pijakan di kursi tinggi. Memalukan banget.

Karena ogah melakukan kesalahan bodoh untuk kedua kalinya, John duduk di kursi yang biasa-biasa saja, diiringi tawa David yang masih belum selesai. John menunggu dengan sabar, soalnya kali ini dia butuh informasi dari temannya yang sebenarnya pengin ia bogem ini. Ah, akhirnya selesai juga. “Kurang lama, nih, harusnya seharian aja sekalian.” sindir John. David tersenyum, “Jangan ngambek, dong. Gitu aja ngambek. Kan yang salah bukan aku.” jawabnya. John memutar mata, lalu bertanya, “Menurutmu apa mereka jadian kilat?” David setengah mendengus. “Ayo kita taruhan 10 dolar. Aku yakin banget, bahkan Greg nggak berani menciumnya.” katanya menantang. Mata John berkilat-kilat. “20 dolar?”

“Deal!” David nyengir. Ia mematikan TV yang menyala tanpa suara di ruangan itu. “Kenapa dimatikan? Aku mau lihat, tau!” protes John yang baru akan menyalakan TV lagi, sebelum bel kamar itu berbunyi. John dan David saling melempar tatapan yeah-itu-pasti-teman-kita-tercinta, dan David melesat dengan cepat ke pintu. “Halo, Greg!” David menutup pintu kembali setelah Greg masuk dengan senyum lebar. Greg langsung bertanya, “Kau kurang tidur? Berhalusinasi, ya?”

      “Greg, kau menggandengnya tadi?” tanya John langsung, ia berdiri dan mendekati dua temannya. Greg mundur selangkah. “Apa?” Suaranya terdengar shock. David dan John ikut kaget, “Apa?” seru mereka berdua. “Apanya apa?” Greg yang sedang shock jadi bingung nggak keruan. “Kau beneran menggandengnya?” tanya David nggak percaya. Greg mengarahkan pandangannya ke arah lain, “Mmm.. Bukan kayak begitu sebenarnya, aku cuma…” Greg mengumpat dalam hati, kemana perbendaharaan kata-katanya yang banyak itu? “Cuma?” John makin serius menyimak.

Greg mengibaskan satu tangannya, “Aduh, sudah deh. Aku nggak berbakat di bidang story telling.” ucapnya menghindar. Greg menerobos kedua temannya yang menghalangi jalannya dan duduk di sofa empuk dekat jendela yang tembus pandang. Ia menerawang, apa yang sedang Cheve lakukan sekarang? Bersih-bersih badan? Atau sudah tidur?

“John, kayaknya kau menang.” gumam David. John mendelik padanya. “Kok bisa? Masa..” John meneruskan ucapannya dengan suara keras, “Masak Greg mencium Cheve?”

Greg otomatis melirik dua cowok yang sedang bergosip dengan suara keras di dekatnya itu. David berdeham, lalu mengikuti permainan John. “Iya. Kau nggak liat kemana syal merah teman kita tercinta ini? Kalau aku nggak salah.. itu pasti ada di kamar ceweknya sekarang.” Kali ini John bingung. “Iya, sih. Terus apa hubungannya dengan ciuman?” David melirik Greg sepintas. Belum ada komentar, hmmm.

“Kau tau, kan, di film-film biasanya ada adegan si cowok, atau yang cewek juga bisa, mereka memakai syal. Terus mereka sengaja memberi syal mereka kepada pasangannya. Nah, biasanya biar lebih romantis, waktu pasangan yang memakai syal itu mau pergi, orang yang memberi syal itu menarik syalnya, dan menciumnya. Kalau menuru

      “Bukan begitu kejadiannya, bodoh!” Greg nggak tahan mendengar cerita murahan ala temannya itu. David menyeringai, “Kalau begitu ceritakan, dong, gimana kejadiannya.” Dasar licik, umpat Greg. Sekarang ia terjebak permainan David. Mata John membesar. “Astaga! Jadi kau sungguhan menciumnya?” David berdoa, agar sekali-sekali otak John bisa berfungsi lebih baik dan lebih cepat. Greg gelisah. “Kalian nggak perlu tau, ingat? Apalagi kau, Dave, kau janji nggak akan mengorek apa-apa dariku.” tuduh Greg. David beranjak dan mengambil tiga kaleng coke dari dalam kulkas. “Dave, ingat itu 5 dolar.” John mengingatkan. David mengangkat bahu. “Aku tau. Kutraktir malam ini, karena aku kalah.” jawabnya puas. John berdecak kagum. “Baru kali ini aku tau ada juga orang yang bahagia kalau kalah.” katanya sambil membuka coke itu. “Nggak mau beneran?” David menyodorkan sekaleng lagi kepada Greg yang belum diterima. Greg memandangnya enggan. “Trims.” Greg menerima coke yang disodorkan David. Mereka bertiga duduk dan menikmati coke masing-masing. Sesaat kamar itu menjadi sunyi.

“David,” panggil Greg, yang langsung membuat David menoleh padanya. “Tumben kau memanggilku ‘David’.” David berkomentar. Greg nggak menanggapi komentarnya barusan, ia melanjutkan, “David Written, jawab aku dengan jujur: kau naksir Cheve, atau tidak?”

      John tersedak.

David menatap mata biru yang juga menatapnya dengan serius, “Tidak.” jawabnya tenang. Greg menelengkan kepalanya. “’Tidak’?” ulangnya lagi. David masih menatap Greg. “Tidak, aku tidak naksir Chevelanne. Jadi, kau nggak perlu khawatir.” ucapnya tetap tenang. “Bagiku Cheve hanya seorang adik kecil yang manis dan perlu penjagaan, bukan seorang gadis yang membuatku jatuh cinta.” tambahnya. Greg mengacak rambutnya. “Sungguh?” tanyanya, “Kau nggak naksir Cheve?” David menggeleng. “Apa kau perlu bukti?”

Greg menjawab dengan cepat, “Nggak. Nggak perlu. Aku percaya padamu. Dengar, aku nggak bermaksud curiga padamu, atau apa saja itu, aku hanya pengin mendengar kepastiannya darimu. Aku hanya penasaran kenapa dia terlihat lebih dekat denganmu. Itu saja.” David mengangguk-angguk. “Syukurlah, karena ngomong-ngomong aku juga nggak punya bukti apa-apa tadi. Oh, dan soal itu. Hmmm, aku juga nggak mengerti. Sudah kubilang, kan, dia seperti adikku sendiri. Mungkin aneh, tapi dari pertama kami bertemu

      “Dimana kalian bertemu pertama kali?” tanya John polos.

yang bisa diceritakan lain kali, aku sudah merasa dia seperti seseorang yang kukenal bertahun-tahun dengan dekat, bukan dalam artian romantis tapi. Jadi, hubungan kami sejauh ini hanyalah dua orang yang bertemu sebanyak tiga kali, tanpa pelukan ataupun ciuman.” David nyengir melihat wajah Greg merona ketika ia menekankan kata terakhirnya. John melempar kaleng coke-nya yang sudah habis ke tong sampah dekat mereka. “Duuuh. Sebenarnya kenapa hanya aku yang nggak tau apa-apa, sih?” serunya geregetan. David menepuk pundak cowok itu. “Sabar, John. Segala sesuatu ada waktunya sendiri.” ucapnya sok bijak. Greg membuka dan menenggak coke-nya dengan cepat, lalu mengikuti aksi John. “Syukur deh, Dave. Aku sempat keder memikirkan kita bakal bersaing.” Ia tertawa. David pura-pura berpikir. “Hmmmm, kayaknya seru juga kalau kita bersaing. Kalau kau mengijinkan

      “Tidak. Jangan pernah berpikir aku mengijinkanmu menyakiti hatinya hanya demi bersaing denganku, ingat itu.” kata Greg tegas. John langsung bersuit. “Aduh, protektifnya temanku yang sedang jatuh cinta.” godanya. Greg salah tingkah. “Bukan begitu maksudku. Maksudku.. ya pokoknya bukan begitu!”

Smartphone David berbunyi. Dia merogoh saku jinsnya, dan melihat siapa yang menelpon. “Kenapa pakai senyum-senyum segala?” John menyindir sambil mencari tau siapa yang menelpon. “Sorry men, it’s personal.” kata David, tersenyum lebar. Tanpa memedulikan cengiran Greg dan rasa penasaran John, David keluar ke beranda yang terpisah dari ruangan mereka tadi.

Setelah yakin tempatnya ini aman dari gangguan manapun, baru ia mengangkat panggilan masuk itu. David berdeham, berharap suaranya cukup enak didengar, ia menyapa penelponnya. “Hai, Tya.”

 —

      “Oke, sampai jumpa.”

      Cheve membereskan kertas-kertas yang tadi dipakainya untuk mencatat materi hari ini dan menumpuknya dalam folder hijau dengan lega. Entah kenapa hari ini Cheve merasa senang, mungkin karena sehabis ini ia bakal bertemu Greg? Aduh, tapi menjelang waktunya, Cheve juga merasa panik dan gugup. Jelas aja, siapa yang nggak gugup bertemu dengan cowok yang menciumnya untuk pertama kali dalam hidupnya? Kedengaran berlebihan mungkin, tapi itu yang Cheve rasakan sekarang. Ia berjalan sambil mengaktifkan smartphone-nya. Benda itu bergetar dan berbunyi singkat. Oh, ada SMS masuk. Cheve membuka, dan.. OH!

Hai, ini Greg. Kau sudah selesai kuliah?

Cheve menutup mulutnya yang menganga. Ia menoleh kiri kanan, yang dibalas cuek oleh beberapa orang. Aman, ia memberitahu dirinya. Tidak ada yang tau Greg Hansted mengirim SMS padanya.

Maaf baru balas. Yap, barusan aja. Kau mau aku menunggu dimana?

      Cheve mengetik secepat mungkin, karena SMS Greg dikirim setengah jam yang lalu. Ia baru akan menekan opsi send ketika sebuah suara memanggil namanya. “Cheve!” Gadis itu berbalik ke asal suara dan melihat seorang cowok berjalan dengan senyum di wajahnya. Awalnya Cheve merasa malu dan gelisah, sehubungan dengan kejadian kemarin. Tapi melihat Greg tersenyum, rasanya sulit menahan diri untuk tidak tersenyum juga. “Hai, sudah lama?” sapa Greg. Cheve menggeleng. “Nggak kok. Maaf, aku baru selesai kuliah, jadi baru baca SMS

      Greg meraih tangannya. “Aku nggak mau lagi mendengar kata maaf darimu, oke? Nggak apa-apa, kok.” potong cowok itu sambil tersenyum kecil, yang membuat Cheve hampir meleleh. “Jadi.. gimana kuliah hari ini?” Cheve tersenyum, senang merasa diperhatikan. “Biasa aja. Kayaknya belum ada sesuatu yang menantang. Bagaimana denganmu?”

Greg mengangkat bahu, “Aku cuma duduk di depan laptop hari ini, mengerjakan tugas yang untungnya deadline terakhirnya minggu depan.” katanya ringan. Cheve tertawa. “Susah banget, ya, tugasnya?” Greg menyurukkan jarinya yang tidak bertaut dengan jari Cheve ke rambutnya. “Nggak juga. Tapi lebih nikmat kalau ngerjain di menit-menit terakhir bagiku.” jawab Greg jujur. “Yah, kebiasaan yang sulit dihilangkan.” Cheve menyetujui. Greg tertawa.

“Kau lapar?” tanya cowok itu kemudian. “Nggak terlalu. Gimana kalau kita ke toko kaset aja? Kau tau tempat kaset disini, kan?” ajak Cheve. “Tentu. Ayo,” Mereka berhenti di depan sebuah mobil merah. “Wow, ini mobilmu?” tanya Cheve kagum. Greg tersenyum, “Yeah. Dan namanya Maserati.” Cheve terkekeh. “Hmmm. Maserati, merah. Kayak lagunya Taylor aja.” ucapnya. Greg membukakan pintu  di sebelah pengemudi. “Sebaiknya kita cepat pergi atau orang-orang mulai menyadari siapa.. maksudku, ayo kita berangkat.” Cheve segera teringat lagi siapa Greg, dan betapa histerisnya orang-orang tiap bertemu cowok ini. Cheve masuk tanpa banyak omong, dan Greg menstater kendaraannya.

It’s a first date, baby.

 —

      John memilah-milah beberapa lembar kertas yang terhampar di meja belajar kamar apartemennya. Ia mengerucutkan bibir dan mengucapkan beberapa patah kata. Lalu terdiam. Lalu mengucapkan beberapa kata lagi dengan intonasi berbeda. Dan terdiam lagi. Lalu berganti kertas. Begitu seterusnya. Setelah beberapa saat, ia menghela napas panjang, dan meletakkan kertas yag dipegangnya di meja. John mengambil iPhone-nya. “Google.. Google…” gumamnya sambil memencet-mencet layar iPhone. Sukses mengakses Google, cowok itu mengetik dengan cepat The Three Investigators – Jupiter Jones. Ia menunggu dengan sabar, sesekali melirik ke kertas-kertas berserakan di meja. “Gotta!” gumamnya bersemangat. Ia meng­scroll down page yang bertuliskan tulisan kecil-kecil yang di­zoom-nya itu. Kayaknya ini butuh waktu lama, pikirnya.

Trio Detektif

      Trio Detektif yang dalam judul aslinya Alfred Hitchcock and the Three Investigators adalah seri novel detektif. Seri orisinil novel populer ini diedarkan antara 1964 sampai 1987 yang terdiri dari 43 buku. Walaupun judulnya mencantumkan nama Alfred Hitchcock, tetapi sebenarnya tidak ada buku yang ditulis oleh Alfred Hitchcock sendiri. Random House, penerbit seri novel tersebut membayar Alfred Hitchcock agar namanya dicantumkan pada seri novel tersebut untuk menarik perhatian pembeli. Seri buku ini awalnya ditulis oleh Robert Arthur, Jr. yang menulis buku ke 1 sampai 9 serta buku ke-11.

Tokoh-Tokoh Utama

  1. Jupiter “Jupe” Jones, Penyelidik Pertama – Seorang mantan aktor cilik dinamakan Baby Fatso, Jupiter adalah seorang yang pintar dan memiliki ingatan kuat serta kemampuan deduksi. Jupiter adalah anak yatim piatu yang tinggal bersama pamannya Titus Jones dan bibi Matilda.
  2. Peter “Pete” Crenshaw, Penyelidik Kedua – Pete adalah seorang atlet atletik yang tidak menyukai situasi berbahaya tetapi sering menjadi andalan dalam beberapa situasi yang memerlukan aksi. Ayahnya adalah seorang ahli efek khusus di Hollywood.
  3. Robert “Bob” Andrews, Dokumentasi dan Penelitian – Bob digambarkan sebagai seorang yang suka belajar dan memakai kaca mata. Bob bekerja sebagai pegawai paruh waktu di perpustakaan sehingga cocok dengan perannya sebagai pengumpul data. Karena dulu kakinya pernah mengalami cedera maka ditugaskan sebagai data dan riset. Ia pun menjadi yang paling kurus dan paling tampan diantara rekan lainnya.

Informasi Mengenai Para Tokoh Utama

      Jupiter, Pete dan Bob tinggal di Rocky Beach, sebuah kota pantai kecil fiktif di California Selatan. Digambarkan bahwa kota tersebut berada sekitar 10-12 mil dari Hollywood dan 15 mil dari tengah kota Los Angeles.

      Keluarga Jupiter memiliki dan mengoperasikan The Jones Salvage Yard (Pengusaha Barang Bekas Jones) atau The Yard, dimana terletak markas Trio Detektif yang tersembunyi di dalam sebuah truk trailer tua yang juga tersembunyi di tengah-tengah timbunan barang bekas pula. Terdapat beberapa jalan masuk rahasia yang cerdik (seperti Terowongan Dua, Pintu Empat, dsb.). Alat-alat yang ada di dalam trailer tersebut antara lain sebuah telepon, kamar gelap untuk mencuci-cetak film, sebuah lemari kabinet, dan sebuah ruang kerja dimana Jupiter biasanya merangkai berbagai macam peralatan (kebanyakan berasal dari barang-barang bekas yang ada di sekitarnya) yang sangat membantu ketiga remaja ini untuk melakukan kegiatan penyelidikan mereka. Ketiga remaja ini seringkali harus membayar barang-barang yang mereka ambil dengan cara bekerja untuk Bibi Mathilda — seorang pekerja keras yang percaya bahwa anak-anak yang terlihat menganggur harus segera diberi pekerjaan.

      Jupiter merancang kartu nama Trio Detektif sedemikian rupa sehingga menarik perhatian para calon klien mereka. Yang paling diingat oleh para pembaca adalah adanya tiga tanda tanya di atas kartu nama tersebut. Para calon klien ini seringkali bertanya apa makna ketiga tanda tanya itu — suatu hal yang memberikan kesempatan bagi Jupiter untuk membuat para calon klien itu terpesona oleh penjelasannya, “Tiga tanda tanya itu adalah simbol dari pertanyaan yang akan terjawab, misteri yang akan terpecahkan.” Orang-orang yang menyewa jasa Trio Detektif biasanya hanya memperkenalkan mereka pada kasus-kasus yang mesti dipecahkan, dan bertemu lagi dengam ketiga remaja itu pada akhir petualangan. Beberapa diantaranya ada yang merujuk para remaja ini ke ahli-ahli tertentu, seperti seprang peneliti tentang kekuatan supernatural. Tidak pernah sekalipun disebutkan bahwa para klien tersebut memberikan bantuan dana kepada ketiga remaja ini untuk melakukan penyelidikan mereka.

      Trio Detektif memecahkan berbagai kasus lewat riset (keahlian Bob), observasi aktif (keahlian Pete), dan penelaahan deduksi yang pandai (keahlian Jupiter). Walau para remaja ini lebih muda dan kurang memiliki dukungan serta koneksi seperti yang dimiliki oleh tokoh-tokoh detektif fiktif lainnya (The Hardy Boys dan Nancy Drew), mereka selalu dapat menemukan cara untuk mengkompensasi kelemahan mereka tersebut.

      Walau masih terlalu muda untuk bisa menyetir mobil sendiri, Trio Detektif cepat-cepat bisa memperoleh alat transportasi yang dapat diandalkan dalam bentuk mobil mewah sewaan Rolls-Royce yang dibawa oleh sopir Inggris bernama Worthington. Jupiter memperoleh fasilitas ini selama “tiga puluh hari, dua puluh empat jam tiap harinya” setelah memenangkan sebuah kontes promosi dari sebuah perusahaan penyewaan mobil, tepat sebelum memulai penyelidikan mereka di buku Misteri Rumah Hantu. Meskipun Jupiter berdalih bahwa kata-kata “tiga puluh hari, dua puluh empat jam per hari” berarti bahwa anak-anak remaja itu harusnya memiliki hak untuk menggunakan mobil mewah tersebut selama masa setara dengan 30 hari penuh (atau 720 jam), perusahaan penyewaan mobil Rent-N-Ride langsung menghentikan hak mereka itu dalam cerita Misteri Mata Berapi. Untungnya, seorang klien yang sangat berterima-kasih atas bantuan Trio Detektif mengatur jalan bagi para remaja itu untuk dapat menggunakan fasilitas mobil mewah itu kapanpun mereka butuhkan. Namun, walau Worthington kemudian menjadi salah seorang kepercayaan dan pendukung Trio Detektif, penggunaan mobil mewah itu belakangan menjadi semakin jarang di buku-buku yang terbit selanjutnya.

      Setelah berhasil membuktikan ketangguhan mereka, Trio Detektif memperoleh kartu tanda pengenal dari kepala polisi Rocky Beach, Samuel Reynolds, yang menunjukkan bahwa ketiga remaja tersebut adalah petugas muda yang membantu kepolisian Rocky Beach. Mereka kadang-kadang menggunakan tanda pengenal ini untuk meyakinkan orang lain bahwa mereka adalah penyelidik sungguhan.

      John terperangah. Di bawah tulisan-tulisan itu masih ada judul seri-seri buku trio Detektif yang berjumlah.. 43! Astaga, harusnya dia riset dulu waktu ditawari peran Jupiter Jones. Soalnya peran ini bukan mainan, dan pasti si Jupiter ini hebat sekali. Cerdik, cinta tantangan dan bahaya, plus berkharisma. Hebat juga Trio ini, keren banget! pikirnya kagum. Daridulu John tau, kalau perannya sebagai detektif utama plus pemimpin kelompok itu, hanya saja dia nggak nyangka Jupiter punya pengaruh yang kuat di kelompok detektifnya yang keren ini. Dulu dia hanya berpikir paling juga detektif-detektifan seperti biasa, yang cuma ditonton anak di bawah 13 tahun. Jadi, tadinya dia nggak berminat untuk search atau riset sekalipun, karena toh, detektif hanya perlu akting seakan kita tau semuanya. Yang susah nanti menghapalkan dialognya.

Tapi ternyata sekarang John tau. Perannya bukan mainan, bukan yang hanya bakal ditonton anak dibawah 13 tahun, melainkan seluruh dunia. Oke, mungkin berlebihan, karena mungkin juga film ini nggak bakal booming seketika. Tapi yang pasti, film dan perannya ini hebat, beda dari peran-perannya sebelumnya, yaah misalnya cowok yang cintanya bertepuk sebelah tangan, cowok yang dibully, sahabat dari cowok yang ganteng, gitu deh. John menyandarkan punggungnya di kursi.

Beda sutradara, beda tantangan.

“Bagaimana?”

      Greg melepas headphone besar yang tadi terpasang di telinganya. “Bagus juga.” jawabnya sambil tersenyum. Ia senang melihat mata Cheve berbinar-binar karena komentarnya barusan. “Pasti,” Cheve memeluk album Red dengan bangga, “lagu-lagu Taylor tidak ada yang tidak bagus. Ya kan, Greg?” Satu lagi, Greg juga senang cara Cheve memanggilnya. “Mmm.. yeah.” Meskipun dia tidak terlalu menyukai Taylor Swift—astaga, itu lho, mantannya satu truk!—dan kebiasannya menulis lagu tentang putus cinta, kayak ada yang peduli saja—eh, ternyata Cheve peduli—Greg menyetujui pendapat Cheve. Apapun pendapat Cheve, kayaknya sekarang Greg bakal setuju-setuju aja—kecuali satu, David atau John lebih ganteng daripada dirinya. Aisshhh, semoga Cheve nggak pernah berkata seperti itu.

“Kau mau beli album ini?” tanya Greg. “Nope, aku sudah punya.” kata Cheve dengan senyum lebar di wajahnya. Greg mengiyakan. Iya juga, sih, kalau dilihat dari seberapa nge-fansnya dengan Swift, kayaknya kalaupun Swift meluncurkan pakaian dalam bergambar dirinya, Cheve pasti beli, pikirnya dalam hati. Seketika Greg merasa idiot. Ngapain berpikir sampai ke pakaian dalam? Kenapa nggak parfum aja? Atau tiket konser? Ini pasti gara-gara ia kurang tidur semalam.

Semalam, Greg hanya tidur 4 jam, masih dipotong terbangun tiba-tiba dan panggilan alam. Ia yang biasa tidur setidaknya 6 jam sehari terkantuk-kantuk pagi harinya. Memang, sih, Greg bisa saja tidur sepanjang hari, tapi ia juga harus memikirkan kuliah dan tugas-tugasnya. Dan ketika jam menunjukkan pukul 9 pagi, Greg kewalahan. Meskipun cowok, Greg orang yang anti bangun siang. Baginya, jam 9 itu sudah sangat siang. Jam yang menurutnya masih pagi? Hmmm, sekitar jam 5 sampai jam setengah 7 deh. Setelah jam-jam tersebut, Greg menyesali seharian kenapa dirinya bisa bangun siang banget. Ha, anehnya, hari ini dia nggak merasa menyesal, cuma kelimpungan di pagi hari.

Mungkin penyebab dia tidak bisa tidur semalam yang mentolerir keterlambatannya.

Greg berjalan pulang ke apartemen kemarin dengan pikiran yang kacau. Harusnya aku nggak menciumnya tadi, harusnya aku nggak menciumnya, harusnya.. Dan berlanjut sampai malam. Maksudnya, okelah, mungkin dia memang orang Barat, orang Amerika yang suka berterus terang dalam mengekspresikan perasaan, tapi lain dengan Cheve, kan? Cheve orang Asia—itu sudah jelas terukir di fisiknya yang aduhai—mungkin dari Korea, mungkin dari Filipina, atau yang lainnya, dan mungkin juga, karena negara-negara Asia sekarang sudah tidak terlalu ketat dalam urusan begituan, sekarang ciuman diperbolehkan juga. Tapi.. Greg mencaci maki dirinya sendiri. Dirinya juga harus tau, bahwa nggak semua orang dari Asia terima saja dicium dan ditinggal begitu saja. Harusnya Greg nggak langsung meninggalkan Cheve sehabis mencium gadis itu. Itu membuatnya terkesan.. nggak tau, deh. Tapi pokoknya ia salah semalam. Apalagi itu, kan, pertemuan kedua—bagi Cheve—mereka, dan sebagai anak beasiswa dari Asia, bisa aja Cheve berpikir Greg udah sinting, mencium cewek yang baru dikenalnya di trotoar jalan raya yang padat. Sambil membaca naskah dialognya sebagai Pete Crenshaw, rasanya ada seribu kali Greg menghela napas kemarin di kamarnya, memikirkan tindakannya yang sembrono dan lancang. Makanya, beberapa jam lalu ia nervous ketemu Cheve, takut jangan-jangan bakal digampar atas kelancangannya kemarin malam. Untunglah tidak. Kayaknya cewek ini oke-oke saja dengan kejadian kemarin.

“Kau yakin nggak mau beli apa-apa?” tanya Cheve melihat Greg tidak memilih kaset apapun. Greg tersenyum, “Iya, beneran nggak apa-apa, kok. Kau jadinya beli apa?” Cheve memamerkan sebuah album, “Selena Gomez’s Stars Dance!” ujarnya gembira. Greg menatap Cheve. Wow, cewek ini berbeda banget dengannya. “Oke, kau mau bayar sekarang? Atau nanti?”

      “Sekarang aja deh.” Yaaah, gagal deh berlama-lama dengan gadis pujaan, keluh Greg dalam hati. Mereka berjalan ke kasir, yang langsung disambut oleh pekikan kaget si petugas kasir, melihat Greg Hansted ke konternya. Sehabis foto dan tanda tangan, baru petugas kasir itu melayani Cheve yang nyengir usil. Dalam pelayanannya, si petugas kasir ber­name tag Dea itu tidak berhenti mengucapkan kata-kata manis kepada Greg. Sebaliknya, ketika mengucapkan “Terima kasih, sampai jumpa lagi.” kepada Cheve, Dea melayangkan pandangan ah-lebih-cocok-Greg-denganku-daripada-denganmu yang dibalas Cheve dengan pandangan terima-kasih-banyak dan senyum kecil. Bisa dilihatnya, Dea menggertakkan rahangnya. “Whooopss, kayaknya kita harus pergi sekarang. Oke, bye Dea! Senang bertemu denganmu.” Greg menggandeng Cheve di depan Dea—yang kaget setengah mati, shock melihat apa yang terjadi di hadapannya—dan keluar dari toko kaset itu.

Greg mengenakan tudung hoodie-nya dan kacamata hitamnya, berharap tidak ada yang mengenalinya. Bukannya sok terkenal, kau sih, nggak tau betapa gilanya—terutama—para fangirls yang menjerit-jerit kalau bertemu dirinya. Sekali lagi, bukan sok keren ataupun sok terkenal, tapi itu memang benar. Cheve menengadahkan kepalanya, melihat langit yang mulai berubah warna kejinggaan dengan damai. Yap, Greg juga senang dengan warna langit sekarang. Ia ikut menengadahkan kepala sambil curi-curi pandang ke gadis di sebelahnya.

Dan ketika ia puas menikmati langit yang mempesona, ketika Greg melihat cafe di seberang trotoar ini, ia melihat sesuatu yang aneh.

David dan Tya.

      Oh, jadi David serius dengannya? Greg berpikir heran. Bukan David Written namanya kalau tebar pesona ke semua cewek dan menghindar ketika ditanya apa hubungan mereka sekarang. Tapi ini aneh. Ini Washington D.C, ini masih Amerika Serikat yang banyak paparazzi, dan David berani mengajak Tya bertemu di cafe terbuka. Temannya itu bahkan nggak sedang memakai kacamata, topi, atau apapun yang biasa dipakainya. Itu sama saja dengan makan daging di gua penuh singa. Siap-siap diterkam dan dijepret oleh kilasan flash paparazzi yang ganas. Greg mual melihat tangan David menggenggam tangan Tya di meja, makin pengin muntah waktu menyadari sorot mata temannya adalah sorot cowok yang sedang jatuh cinta. Mendadak Greg sadar. Mungkin beginilah dia sekarang, nggak salah kalau John sering bilang cowok yang sedang jatuh cinta itu  kadang menjijikkan.

Tunggu, kenapa aku jadi senewen begini? Greg terperangah menyadari dirinya yang tiba-tiba jadi komentator pedas temannya. Kenapa? Greg menoleh dan mendapati Cheve yang juga sedang mengamati David dan Tya. Sesuatu yang tidak enak merayapi hatinya.

“Cheve,” gumam Greg dengan suara masih bisa didengar, “kau cemburu?”

      Hatinya mencelos ketika Cheve menatapnya dengan kaget.

[TBC]

Thank you for reading! Maaaffffffff bangettttt kalo telat ahaha ini ketularan Orange soalnya *halah alesan* he he, maap Orange! Hope you guys’d like this part yeaa. Aku ngetiknya lumayan lama dan penuh perjuangan soalnya *halah lagi* And if you feel like it, you’d comment below? Thank you a whole heart! ; )

love always,

Green

2 thoughts on “I Got You

  1. PERGIIII (?)
    Kenapa ceritanya keren banget
    Bahasanya Green makin aduhai XDD
    Haha betewe aku cegek pas baca ‘aduhai;nya XD
    Tya pernah masuk gak sebelumnya? Seingetku kayak pernah denger (di cerita, bukan kenyataan)
    Maap telat banget, aku baca pas Green ngetweet ke Blue haha, tapi aku baca sambil mantengin tl gegara EXO huahaha
    Mendadak blank isi ceritanya . . . Flawless, perfect, amazing, adorable, incridible, great, superb, very very good. Smua buat kamu Green, muah ❤
    (( betewe maaf lagi soalnya Behind belom /.\ aku stuck banget dan malah bikin oneshot lain .-. ))

    • Nggak papa Orange, aku malah ga enak, kayak maksa banget. Oh ya, yg Behind itu gpp kok, aku cm nyari temen sepenanggungan kmrn he he ^^v
      Thank u berat buat pujiannya, ya, Or (?) terkenang di hati nih 😀 btw ceritamu jg bagus kok, keep writing yaaa. Ooh, and also thank u for reading n comment! ; )

Leave a comment