I Got You

“Aku nggak tau kenapa tapi.. aku nggak suka milikku membicarakan, menyukai orang lain.”

Delapan

      “Ya, Dave? Kau mau, kan?”

      David menghela napas pelan-pelan. “Beri aku satu alasan kenapa aku harus membantumu.” gumamnya di telepon. “Kenapa kau perlu alasan?” suara Tya terdengar kesal. David berdeham,“Kau belum menjawab pertanyaanku.” Tya mendengus di telepon. “Okelah. Alasanku? Karena aku pengin dia tau aku sepenuhnya baik-baik saja tanpa dia. Itu alasanku.” David terdiam sejenak, menyadari suara Tya bergetar waktu berbicara tadi. Aduh, susah juga berhadapan sama cewek, batinnya. Ia menghela napas. “Tapi kali ini saja, ya. Lain kali awas kau minta bantuanku lagi.” gumamnya datar. Tya bersorak. “Dave! Trims berat! Kau memang cowok terganteng, terbaik, terkeren di kompleks rumah kita! Duh, makasi berat!” David memutar mata. Astaga, mood cewek memang gampang berubah-ubah.

Cowok itu memindah smartphone ke telinga kanannya. “Jadi kapan kita beraksi?” suara David berat di kata ‘kita’ tadi. Tya ber-hmmm hmmmm sebelum menjawab, “Besok.”

“APA?” bukannya sok kaget, kali ini David benar-benar kaget. “Kenapa? Besok kau ada syuting?” David makin emosi mendengar jawaban Tya yang santai. “Bukan ada atau nggak ada syuting, masalahnya aku harus siap-siap juga, dong! Aku kan harus beli jaket yang kebesaran biar nggak ketahaun paparazzi, beli..”

      “Siapa bilang kau bakal beli barang-barang itu?” potong Tya. “Lho, kau sudah menyiapkan? Wah, makasih banget, Tya, nggak nyangka ternyata kau..”

      “Kau nggak boleh memakai aksesoris apapun besok.” potong Tya tegas. David terdiam sejenak. “Jadi aku juga nggak boleh pakai baju, gitu?” tanya cowok itu polos. Tya mendengus keras. “Jadi kau mau jadi pacar sewaanku atau pembuat sensasi?” balasnya. Giliran David memutar mata. “Oke oke, just kidding, babe. Tunggu, maksudmu gimana?”

 

“Cheve, kau cemburu?”

      Cheve menoleh kaget. Gila, memangnya wajahnya gimana sekarang? Apa wajahku cemberut? Tersenyum sinis? Cheve membatin. “Apa?” tanya Cheve tidak percaya. Greg menunjuk David dan seorang cewek yang mesra-mesraan di cafe outdoor seberang jalan. “Kau cemburu?” ulang Greg. Cheve melihat David dan pacarnya sekali lagi. Cemburu?

“Ya ampun Greg, nggaklah! Masak aku cemburu,” Cheve tertawa kecil, “aku cuma kaget ngeliat playboy lagi ngerayu cewek secara live.” Perlahan-lahan raut wajah Greg yang tegang mengendur. “Ooh, begitu.” kata Greg, “Jadi maksudmu kau nggak pernah dirayu gitu?” godanya. Cheve memukul lengan Greg dengan tangannya yang bebas. “Bukannnnnnnn! Bukan gitu maksudku Greggggg.” Cheve ikut tertawa. Mereka meelihat paparazzi mulai berdatangan dan berteriak-teriak pada David dan pacarnya yang tetap kelihatan santai.

“Ayo.” Greg menggandeng tangannya. Yah, benar juga sih. Memang asik ngeliatin si David sama ceweknya menghadapi paparazzi, tapi mungkin lima menit kemudian yang terjadi malah Cheve dan Greg yang dikerubungi paparazzi. Hmmmm, Cheve harus belajar berpikir cepat.

“Mau kemana lagi?” Greg bertanya dan menoleh sekilas ke Cheve yang berpikir. “Mmmm.. kemana ya? Aku juga nggak tau.” Cheve membuang napas. Huh, sebenarnya sih ia mau-mau aja kemana aja, asal sama Greg.

Greg membelok. “Gimana kalau ke apartemenku saja?” katanya menawarkan. Cheve melotot. “Ke apartemenmu? Berdua?” Greg nyengir. “Tenang aja, ada John kok.”

“Ooh, kirain.” Cheve mengalihkan pandangan ke samping, menyembunyikan rasa malunya. Kalau sampai Greg menebak pikirannya tadi.. “Ooh, ya, kau sudah baca naskah?” Greg memindahkan persneling. Jalanan agak ramai hari ini. Cheve menggeleng. “Kalau maksudmu semua, belum. Tapi aku sudah baca beberapa bagian. Kau?”

“Tadi malam aku sempat baca sih, tapi juga cuma awal-awalnya aja. Kayaknya Pete itu ganteng banget, ya?” goda Greg, melirik Cheve yang pura-pura berpikir. “Hmmm.. mungkin. Tapi di bukunya Bob yang paling oke, ya, kalau nggak salah?” balas Cheve. Seketika Greg cemberut. “Sorry deh, cuma bercanda kok.” ujar Cheve kemudian. Greg tersenyum sekilas. “Kau tau nggak? Satu kelemahanku yang paling aku benci adalah iri.” Mobil mereka berhenti karena lampu merah. “Aku nggak tau kenapa tapi.. aku nggak suka milikku membicarakan, menyukai orang lain.” Jantung Cheve berdebar keras waktu Greg mengatakan ‘milikku’. “Aku nggak bermaksud melarangmu dekat dengan siapapun, karena aku juga kenal dan lumayan dekat dengan beberapa cewek. Bukan begitu maksudku, tapi.. semua ada batasan-batasannya, kan?” Cheve merinding waktu Greg meraaih sejumput rambutnya dan menyelipkannya ke belakang. “Dan tolong ingatlah.. bahwa kau adalah milikku.” Cheve terpaku menatap mata biru Greg yang melembut. Perlahan wajah Greg mendekatinya.

“Aku mengerti.” bisik Cheve, memejamkan mata. Ia bisa merasakan napas dingin Greg menerpa pipinya. Sedikit lagi…

 —

      TINTIN!

Astaga!

      Greg melompat menjauh dan Cheve memalingkan wajahnya ke arah lain. Greg menjalankan mobilnya dengan gugup, dan bel mobil-mobil belakang mulai berhenti berbunyi. Jalan raya pun berjalan seperti sediakala.

Tapi tidak dengan debar jantungnya. Dan suasana di mobil.

Astaga, apa yang baru saja dilakukannya? Greg menarik napas panjang pelan-pelan. Sejak kapan ia jadi hobi mencium cewek begini? Greg mengerjap-ngerjap. Ya ampun, masak barusan ia berusaha mencium Cheve—lagi? Ia melirik gadis di sampingnya. Cheve memalingkan wajahnya ke jendela luar, jadi Greg tidak bisa melihat bagaimana ekspresinya saat ini. Sial sial sial. Bisa-bisa aku dicap ngeres beneran, keluh Greg dalam hati.

Tadinya Greg nggak berniat bincang-bincang romantis kayak tadi, tapi dia nggak tahan menyembunyikan rasa nggak sukanya waktu Cheve bilang Bob lebih ganteng. Okelah, bilang aja Greg bego, bisa-bisanya terpancing dengan hal-hal gituan. Tapi benar, dia nggak suka. Mungkin kalau itu yang bilang adalah Fred, temannya yang gay, dia nggak bakal terusik, tapi ini yang bilang adalah Cheve, cewek yang ditaksirnya. Dan.. hmmm, yang memerankan Bob, kan, si David playboy cap kaleng. Dan, hmmmm, fans mereka kan hampir sama jumlahnya. Bukannya nyombong, sih, tapi memang benar kok. Huh, tapi tadi nyaris aja, pikir Greg. Jantung Greg jadi berdebar cepat lagi mengingat kejadian barusan.

“Pintu masuknya bukan yang tadi barusan?”

      Greg tersentak. Ia melihat-lihat jalanan lagi, dan sadar sudah melewati pintu masuk. Ia menoleh ke Cheve yang langsung pura-pura mengobok-obok folder­nya. Greg berdehem. “Hmmm, iya juga ya. Kalau begitu aku putar balik dulu, deh.” Cowok itu mencari putar balik. Waduh, kok nggak ada? Kalau begitu terpaksa memutar ke jalan belakang. Aduh, naas banget hari ini. Greg menarik napas.

“Cheve,”

      “Greg,”

      Greg tercengang. Ia menoleh dan melihat Cheve juga sama tercengangnya. Tapi itu nggak berlangsung lama, karena Cheve membelalak dan berteriak, “AWAS GREG! AWAS!”

Greg melihat ke depan dan kaget setengah mati. Ia buru-buru membanting setir ke jalur kanan yang seharusnya jalur arah sebaliknya, demi menghindari mobil yang menyikatnya barusan. Baru saja akan menarik napas lega, Greg sadar ia berada di jalur yang salah. Harusnya ini jalur keluar, sedangkan Greg menempuh jalur masuk. Mobilnya bergerak maju sedangkan mobil-mobil yang lain menuju arah di belakangnya.

Greg melihat kaca spion dan melihat jalur kiri—jalurnya—kosong. Dia membanting setir dan melihat kaca spion lagi. Siapa tau kali ini bakal ada yang menyalipnya lagi. Ooh, tapi ternyata nggak ada. Fiuh, Greg menghembuskan napas lega. Penumpang di sampingnya juga ikut lega.

Greg tersadar. “Cheve, kau nggak papa?” tanyanya khawatir. Kalau David atau John, sih, dibawa mutar-mutar nggak papa. Toh, Greg nggak ada rasa sama mereka. Tapi kalau Cheve, kan, beda. Cheve menoleh padanya. “Nggak papa. Aku cuma kaget aja.” jawab Cheve. Sejenak suasana hening, lalu tanpa dikomando keduanya tertawa.

“Makanya, lain kali konsentrasi, dong, kalau nyetir.” ledek Cheve. “Aku sih konsentrasi, kau aja yang mengangetkanku dengan teriak-teriak kayak tadi.” balas Greg. “Huh, untung aku teriak tadi. Coba kalau nggak, mungkin kita tinggal nama sekarang.” tukas Cheve. Greg tersenyum. “Terserah kau aja deh.”

“Apa masih lama?” tanya Cheve sambil melihat-lihat sekitar melalui kaca mobil. “Kenapa? Kau nggak betah semobil denganku?” tanggap Greg terlalu cepat. Cheve menggeleng. “Nggak dong. Cuma penasaran aja.” jawab Cheve, lalu tersenyum. “Hmmm, nggak kok. 2 menit lagi.” ujar Greg.

Smartphone Cheve berdering singkat. Gadis itu membuka dan menatap layar smartphone-nya agak lama. Greg menangkap merek smartphone Cheve yang ber-casing pink.

Samsung. Tanpa bisa ditahan Greg memutar mata. Samsung? Produk Korea Selatan yang menjiplak Apple, kan? Dasar nggak kreatif. Menurut Greg, jelas lebih bergengsi dan keren Apple pastinya. Selain itu, euh, Korea Selatan? Artis-artisnya yang plastikan itu, kan? Yang dikenal rendah hati dan pemalu karena sikapnya yang sok-sok malu itu, ya? Yang sok baik di depan orang-orang, tapi ternyata brutal di balik kamera itu? Yang cantik dan ganteng gara-gara plastic surgery dan make-up itu? Yah, okelah, kalau make-up wajar, soalnya semua artis juga jadi lebih oke karena make-up. Tapi plastic surgery? Sorry sorry aja, tapi mendingan orang yang memang jelek dari asalnya ketimbang orang yang jadi cantik sejagat raya dari plastik. Greg nggak mengerti motto orang Korea kalau-bisa-lebih-oke-kenapa-enggak itu. Well, mungkin pandangan setiap orang berbeda-beda.

“Dari Alfred.” kata Cheve, memasukkan kembali smartphone-nya ke dalam saku mantel. “Kenapa?” Greg bertanya, mobilnya memasuki pintu masuk belakang apartemen. “Kita diminta berkumpul di apartemenmu sekarang.”

“Yah, kalau begitu tepat waktu.”

“Thank you very much, Dave!”

      David menatap sebal Tya yang melambai dan berlari ke apartemennya. Tapi kemudian smartphone-nya bergetar. David melepas helm-nya, lalu mengangkat panggilan masuknya. “Ya, kenapa?” Lawan bicaranya mengatakan beberapa patah kata di telepon. “Oke, aku ke sana sekarang.” jawabnya singkat lalu memutus hubungan telepon dan menyimpan smartphone-nya. David memakai helmnya, lalu menstater motor ninja merah-hitamnya yang kinclong—yang baru sampai dikirim tadi pagi. Lalu meluncur dengan cepat meninggalkan tempat itu.

“Sorry telat.” John baru mengerti kenapa banyak cewek yang tergila-gila sama temannya satu ini. David melepas helm dan merapikan rambut coklatnya yang berantakan dengan jari-jarinya sambil berjalan ke sofa mereka berkumpul. Di telinga John terngiang-ngiang jeritan para cewek yang berisik, “Cara David melakukan itu lebih seksi daripada adegan Edward Cullen masuk kantin!”

Coba kalau aku cewek, mungkin aku juga naksir David, gumam John tanpa sadar. “Ada apa, sih, Al?” suara Cheve membuyarkan imajinasi John. Alfred Hithcook menggosok-gosokkan kedua tangannya. David duduk di sebelah John, yang juga berarti sebelah Cheve. Sempat-sempatnya ia nyengir ke Cheve dan menyapa, “Hai, Cheve, lama nggak ketemu. Dikarantina sama Greg, ya?” dengan nada jailnya. John memutar mata. David jelas memulai pertarungan.

“Memangnya mau ngapain pake ketemu segala?” potong Greg cepat. “Hmmm, nggak papa, sih. Cuma mau setor muka aja.” balas David santai. “Ih, masih bagusan mukaku juga.” tukas Greg. “Siapa bilang lama nggak ketemu? Baru kemarin ketemu, kok.” sela Cheve menetralisir suasana. John menepuk bahu David. “Sudahlah, bro, jangan memulai pertarungan.” sarannya bijak. Yang diberi saran hanya mengangkat bahu. “Aku hanya kangen muka kesalnya kalau digoda, kok. Tuhkayak begitu mukanya.” David nyengir melihat muka Greg yang ditekuk.

Alfred berdeham. “Ooh, iya, Al, sorry.” kata David sambil mengubah raut wajahnya yang cengar-cengir jadi lebih serius. Alfred seakan tidak mendengar perkataan David barusan. Matanya terpaku di tangan kanan Greg yang berada di atas tangan kiri Cheve.

Ini bakalan susah, keluhnya dalam hati.

“Nggg.. oke, sebelumnya aku pengin menyampaikan permintaan maaf dulu.” mendadak Alfred Hitchcook yang menguasai segala macam emosi jadi gugup karena dihujani tatapan bertanya para aktor dan aktrisnya. “Kemarin aku menghubungi Bill, dan dia.. sebenarnya kurang setuju kalau kauAlfred menunjuk Cheve dengan dagunya, “yang mengisi peran Kelly.” Alfred terdiam sejenak, melihat tangan Greg meremas pelan tangan Cheve dengan isyarat jangan-sedih-aku-mendukungmu. “Tapi melalui diskusi kami kemarin, akhirnya dia setuju,” Alfred bisa mendengar helaan napas lega di ruangan ini, “di bawah satu kondisi.”

      Alfred menguatkan hatinya melihat dua remaja yang menatapnya tanda tanya dengan tangan saling mengait itu, dan didengarnya dirinya berkata, “Tidak ada pemain yang menjalin hubungan khusus.”

 —

Aha!

Tya menatap layar iPod-nya dengan puas dan menang. “Akhirnya!” serunya sambil tertawa. Dibiarkannya iPod memainkan lagu Sparks Fly yang menjadi ringtone panggilan masuk selama kira-kira 20 detik. Baru saja Tya akan mengangkat, nada deringnya mati. Itu berarti orang yang menelpon memutus sambungan.

Tya mendengus. Ia mengambil iPod dan membuka Twitter. Wiiiih, banyak banget mention-nya. Kebanyakan mention dari fans David yang mengata-ngatainya dengan sumpah serapah yang sengaja dibuat huruf kapital, ada juga fans David yang waras yang menyelamatinya atas hubungannya dengan idola mereka, dan ada pula sebagian orang yang menyemangatinya dengan kalimat “We’re always in your side.”—Tya jadi berpikir apa orang-orang ini ajaib atau bagaimana, karena jelas-jelas mereka belum pernah ketemu dirinya, pake bilang kami-selalu-di-pihakmu segala. Tya berdecak kagum. Gila, kalau begini sih, mending daridulu dia nge-date aja sama si David. Cepat banget jadi populer! Selain itu banyak akun majalah dan acara gossip terkenal yang mention ke akunnya beserta foto hasil jepretan paparazzi tadi sore.

iPod-nya berdering lagi. Kali ini hanya 10 detik. “Halo?” Tya memasang suara seangkuh mungkin menanggapi penelponnya ini. “Lama nggak mendengar suaramu.” balas penelponnya. Tya mengibaskan rambut pirangnya, “Kenapa? Kangen?” godanya. Penelponnya mendengus. “Sorry deh, aku masih punya setumpuk kerjaan ketimbang kangen sama cewek sinting.”

      Darah Tya mendidih dikatai cewek sinting, hilang sudah niatnya berbaikan dengan cowok ini. “Siapa yang cewek sinting, hah?! Ngaca dong kalau ngomong! Sok diri kebagusan aja!” Cowok di telepon tertawa kecil. “Tetap seperti yang dulu, ya? Pemarah, penggosip, dan sinting. Aduh, leganya aku bisa lolos darimu.”

Tya tertawa keras-keras. “Yah, aku juga lega bisa lolos dari bajingan sepertimu.” desisnya. “Hmmm, jadi bagaimana kencannya? Sukses? Aku harap begitu, dengan begitu cowok itusiapa namanya? Aduh aku lupabakal tau siapa kau sebenarnya, Tya.” ujar cowok di telepon santai. Tya merasa kepalan tangannya mulai kuat.

“Ah, tapi kenapa kau memilih cowok kayak gitu? Kurang keren. Dia nggak ada bandingannya denganku, tau?” kata cowok itu lagi. “Kau yang nggak ada bandingannya dengan David!” sembur Tya. Cowok itu tertawa lagi. “Nah, sekarang aku ingat namanya. David Written, ya? Aktor populer Hollywood.”

Bibir Tya membentuk seulas senyum sinis. “Bagus, kau tau dia lebih oke darimu.” Cowok di ujung telepon pura-pura menggerutu, “Siapa bilang? Bisa dibilang dia itu sebuah pohon di dalam hutan yang subur, atau dengan kata lain pasaran. Sedangkan aku bisa digambarkan seperti ular di samudera Atlantik.” cowok itu mengambil napas, “Maksudku, nggak pasaran dan mematikan.”

“Aku tau kau goblok, tapi nggak usah goblok-goblok banget, deh. Ular? Ular apa yang bisa bertahan di samudera Atlantik? Kalau di Amazon, sih, anakonda bisa. Tapi Atlantik? Tolong, ya, otak dipakai. Jangan dibuat pajangan aja.” Tya puas bisa mengatakan perkataan barusan.

Cowok penelponnya terdiam sebentar. “Kau boleh mengatai aku goblok, bajingan, atau apapun sekarang,” ujar cowok itu, suaranya dalam dan serius, “tapi kuperingatkan, aku pasti membuat perhitungan denganmu, Tya. Ooh, dan cowok itu juga. Jadi mungkin sebaiknya kalian berdua berangkulan menunggu perhitunganku. Berbahagialah selagi bisa. Ingat itu.” Peep.

Tya terdiam. iPod masih menempel di daun telinganya meskipun sambungan telepon telah diputus oleh penelponnya barusan. Cowok itu jelas nggak main-main. Memang sejak kapan dia bermain-main dengan ucapannya? Tya menghela napas. Akhirnya diletakkan iPod di meja dengan pelan-pelan. Lalu ia mengambil handuk dan pakaian dalam, dan masuk ke kamar mandi.

Sepuluh menit kemudian, Tya sudah di bawah shower dengan rambut dan badan basah. Biasanya ia menyanyi-nyanyi sembarang lagu dengan suaranya yang nge-bass kalau menyanyi, tapi kali ini tidak. Kali ini Tya diam saja. Biar sudah 5 menit di bawah shower dan sekujur tubuh telanjangnya basah, Tya tetap diam dan tidak segera menyabuni badannya. Gadis itu memejamkan mata, dan memikirkan cowok tadi beserta ancamannya. Kalau cowok itu mau membuat perhitungannya dengan dirinya saja, sih, Tya nggak papa. Sudah sering ia lolos dari jeratan cowok-cowok biadab. Tapi masalahnya, kali ini ancamannya bukan hanya untuk dirinya seorang, tapi juga untuk teman baiknya.

Bilang saja cemburu apa salahnya, sih? Tya mendengus dan membuka mata. Dimatikannya shower, lalu tangan kanannya meraba-raba tempat peralatan mandi mencari shampoo. Duh, nggak ketemu. Akhirnya Tya berbalik dan mengambil shampoo sendiri. Daritadi nggak ketemu-ketemu, pikirnya sebal. Yah, kayaknya lebih enak shampoo dulu. Secara tidak sengaja matanya menangkap cermin di tembok kanan.

Sepasang mata biru menatapnya dingin penuh dendam.

[TBC]

So sorry nge-postnya telattttt. He he, ini juga ngetiknya awalnya malesssss tapi berhubung nggak pengen dibilang malesssssss akhirnya ngetik deh, muehehe. Tapi nggak kok, pas mulai bagian seru-serunya nggak males. Ini.. pasti #TeamGreg ngambek berat (apalagi yg K-Poper) sm orgnya *ini pembunuhan karakter! pembunuhan karakter!* sorry ding, tapi author emg pengin readers tau si Greg jg punya kelemahan n sikap yg.. hmm, nggak patut dicontoh. Inget, manusia nggak ada yang sempurna. Chapter ini kependekan, mungkin? Yap, tapi nggak papa deh, biar pada penasaran ;D

Thank you for reading! Like and comment below, maybe? Thank u! 😉

love always,

Green

2 thoughts on “I Got You

  1. Sebelum baca, ijin komen dulu.
    Green update cepet banget sih ._.
    Ini 17 Juni? Beneran? Kayaknya aku beberapa hari yang lalu cek pureorb belum ada XDD
    Oke, kemungkinan aku komen lagi besok.
    Aku minta maaf ya, kamu tau kenapa kok 🙂

Leave a comment