I Got You

“Ada orang bilang, orang yang paling bahagia adalah orang yang tidak tau apa-apa.”

Sembilan

Holy crap!!

      Tya melempar tempat shampoo yang dipegangnya barusan ke cermin menyeramkan itu. Bunyi tidak mengenakkan terdengar dari tempat shampoo yang mengenai cermin dan kemudian jatuh ke lantai kamar mandi. Tya tercengang sejenak. Ah, masak ada orang yang ngintip tadi? Rasanya nggak mungkin. Kamar mandi ini aman, kok, ventilasi aja diberi secukupnya. Masak ada orang mengintip?

Tya mengambil tempat shampoo yang tadi dilemparnya dengan was-was. Meskipun kelihatannya aman.. bukan berarti pasti aman, kan? Gila banget, masak ngintip waktu orang mandi gini, iya kalo di dapur nggak papa, batinnya jengkel.

Lebih baik dia cepat-cepat selesai dan keluar dari kamar mandi ini.

“Apa?”

Setelah mengatasi saraf-sarafnya yang mendadak mengencang, Cheve bisa membuka mulut. Yah, tanggapan yang biasa diberikan orang-orang sehabis mendengar sesuatu mengejutkan. Alfred berkata dengan tenang, “Tidak ada pemain yang menjalin hubungan khusus.”

      “Tapi kenapa? Tidak ada perjanjian seperti ini dalam kontrak.” tanggap Cheve cepat. Ia butuh alasan. Alfred tersenyum tipis. “Ada orang bilang, orang yang paling bahagia adalah orang yang tidak tau apa-apa.” ujarnya tenang, “Kau masih ingin tau?”

“Ya,” John tiba-tiba menyahut, “kami mau tau.”

Alfred melepas topi pet coklatnya. “Aku tau tidak ada perjanjian seperti ini dalam kontrak. Bagaimana tidak? Akulah yang menulis kata-kata dalam kontrak itu.” Sutradara yang agak tua itu merapikan rambutnya yang masih sehat, “Tapi ini kesepakatan yang diajukan Bill, dan kita akan mula dari sekarang. Baik pemeran utama, maupun figuran. Mengerti?”

“Nggak. Aku nggak mengerti maksudmu. Tolong jelaskan sekali lagi.” David berkata ringan, “Beserta alasannya.”

      Alfred mengangkat sebelah alis. “Kupikir kau dan John nggak ada masalah apa-apa, soalnya kan..” Ia sengaja menggantung kalimatnya. Buat apa menyelesaikan kalimat yang semua orang sudah tau maksudnya?

      “Apa Bill tau tentang kami?” Greg akhirnya bersuara. Haduh, susah juga kalau di saat-saat begini urat lemotnya bekerja, batin John. Alfred berdehem. “Memangnya kenapa kalau tau? Toh, kalian adalah aktorku. Mulai beberapa minggu lagi kita akan bekerja sama. Jadi, nggak salah, kan, kalau kami sutradara dan produser khawatir film kami tidak laku gara-gara urusan pribadi kalian?”

      “APA MAKSUDMU?” Greg menggebrak meja kaca di hadapannya emosi. “Maksudmu kami hanya mainanmu untuk mencari uang, gitu? Dasar sutradara bejat!” Greg memaki-maki orang tua di hadapannya dengan garang. David dan John langsung menarik temannya yang sedang marah-marah itu kembali duduk, sedangkan Cheve tertegun mendengar jawaban sutradara yang dipuja-pujanya selama ini. “Akui sajalah, kita saling membutuhkan.” Alfred mengeluarkan cerutu dari saku jaketnya, “Kau butuh aku supaya terkenal, dan aku butuh kalian supaya dapat uang. Impas, kan?” Dengan santai Alfred berdiri dan menepuk tangannya sekali. “Yah, hanya itu sih, keperluanku kesini. Karena sudah selesai,” ia memberikan senyum menjengkelkan, “aku pergi dulu. Ingat, syuting dua minggu lagi. Siapkan diri baik-baik, ya!”

Pintu tertutup. Alfred sudah keluar dari apartemen mereka. John menelan ludah. “Itu.. nggak benar, kan?” ujarnya terbata-bata. Greg mendengus dan kembali duduk, “Apa maksudmu itu tadi nggak benar? Jelas-jelas tua bangka itu mengatakan hal-hal aturan nggak berguna tadi dari mulutnya sendiri! Lain halnya kalau kemarin dia kepikiran  menjual jiwanya ke iblis.”

      Menjual jiwa ke iblis? Cheve tersenyum samar. Apa itu penjelasan yang logis dari sikap Alfred barusan? Cheve yakin, dia nggak salah mendengar kata-kata murahan yang dilontarkan Alfred tadi. Begitu dingin, sadis, dan.. merendahkan. Seolah-olah mereka disini hanya untuk popularitas. Yah, benar juga sih, tapi kan bukan begitu cara ngomongnya. Seakan-akan tidak ada lagi yang bisa dilakukan mereka disini selain mencari poularitas. Seakan-akan karena mereka sudah membayar aktornya, mereka berhak mengetahui dan mengatur semua kehidupan para aktor. Atau omong kasarnya, nih uang, tapi setelah itu aku yang mengatur hidupmu. Begitukah Alfred berpikir? Kalau aja tadi Alfred nggak mengatakan perkataan kayak gitu, mungkin Cheve nggak bakal tersinggung parah-parah amat. Apalagi kayaknya nggak baik juga pamer kemesraan di depan umum. Bukan itu yang membuat Cheve tersinggung. Bukan. Sungguh bukan itu. Cheve tidak keberatan tentang larangan tadi, yang membuatnya tersinggung adalah pola pikir sutradaranya. Serta cara bicara Alfred yang santai dan tanpa beban. Seolah memang sudah haknya mengatur dan mengucapkan kata-kata murahan pada aktornya.

Tapi hari ini Alfred juga agak aneh. Jarang-jarang beliau menunjukkan sikap dingin dan terasa jauh dengan aktornya. Percaya atau tidak, Alfred adalah orang yang merangkul semua golongan. Tidak heran banyak orang senang bekerja dengannya. Tidak heran juga produser sekaliber Bill Corodon langsung menyetujui apapun keputusan Alfred.

      Wow, fantastic baby.

      Hmmmm, nggak se-fantastik itu juga sih, sebenarnya. Mungkin lebih tepat.. aneh. Alfred yang biasanya ramah, murah senyum, dan tidak akan mengatakan hal-hal yang merendahkan orang lain. Jadi kenapa?

       David tertawa sekaligus mendengus. “Ucapanmu sadis amat, padahal belum tentu kau berani ngeliat iblis.” Greg cemberut. “Berani dong.” kilahnya singkat. “Lho, mau kemana?” Greg bengong waktu Cheve berdiri dan membereskan foldernya, sementara John dan David pura-pura melihat seekor semut yang sekarat di lantai apartemen.

Cheve tidak menjawab, ia berjalan ke pintu dan mengambil mantelnya yang tergantung di gantungan jaket dekat pintu. “Cheve, tunggu dulu.” Greg menahan pundak Cheve, membuat Cheve tertahan dan tidak bisa keluar. “Bisa lepaskan aku?” Cheve terkejut mendengar suaranya sendiri. Dingin. Sebelah tangannya sudah memegang handel pintu, siap membuka pintu. Greg berkeras menahannya. “Setelah kau tenang.” balas Greg.

“Aah, serasa nonton TV,” sindir David keras-keras. John menyikut perutnya. “Kau memperkeruh suasana, tau!” desis John. David menguap, “Mau kurekam?” sindirnya lagi. John memutar mata. Ke kamar saja deh, batinnya, biar si David aja yang kena imbasnya. Cowok itu berjalan cepat ke kamarnya dan mengunci pintu. Ia mengambil mp3 dan mulai menyetel lagu. “We were both young when I first saw you..”

“Setelah aku tenang? Maksudmu sekarang aku lagi kejang-kejang gitu?” Greg terperangah. Sekarang Cheve memutar badannya mengahadap dirinya. Mata hitam Cheve terlihat dingin dan tajam. Apa dia lagi PMS? Greg berpikir-pikir. Biasanya waktu PMS, cewek memang suka aneh-aneh. Mood mereka berubah cepat, suka marah atau nangis—atau malah dua-duanya—tanpa alasan, dan mudah tersinggung. Huh, si Jesselyn juga suka begini, makanya Greg mengerti. Awalnya malu juga, sih, nanya hal-hal begituan ke adiknya yang bermulut ember, tapi mending bertanya kan? Malu bertanya sesat di jalan.

Greg mengendurkan tangannya yang menahan pundak Cheve. “Oke, oke,” akhirnya dia mengalah, melepaskan tangannya dari pundak Cheve. Cewek itu menghindari padangan Greg yang menyelidik. “Aku mau pulangbisa kok, nggak usah diantar,” Greg jengkel karena berhasil dibungkam sebelum sempat menawarkan jasa, “Aku cukup mengenal Washington D.C, tenang aja. Jadi.. sampai jumpa besok.” Cheve akhirnya membalas tatapannya dan memberi senyum tipis. Greg mendekatkan wajahnya ke wajah Cheve, tapi gadis itu menghindar. “Ada David,” gumamnya samar.

Greg menjauh. “Ooh, oke. See you tomorrow.” kata Greg kikuk. Ia membukakan pintu, dan Cheve langsung ngibrit pergi. Greg menutup pintu setelah melihat Cheve berbelok dan menghilang. Ia menghempaskan pantatnya di sofa sebelah David. “Ada apa, sih, dengan hari ini? Alfred jadi aneh, Cheve juga ikut-ikutan aneh.” serunya kesal, lalu memelototi David yang main smartphone dengan tenangnya, “Kau pasang mantra, ya? Ngaku aja, kau ikut aliran sesat, kan? Ayo, ngaku aja!”

Waduh, gara-gara tangannya goyang, tembakan sniper andalannya jadi meleset. David mendesah waktu sniper kesayangannya kena tembak musuh. Jadi mengulang level satu, deh. David menurunkan smartphone dengan kesal, lalu menoleh menghadap Greg. “Apaan sih? Sejak kapan aku ikut aliran sesat? Dan sejak kapan kau mendorong-dorong orang kayak banci begini? Jangan-jangan kau yang ikut sekte sesat,” balasnya kesal. Greg berhenti mendorong-dorong temannya dan cemberut. “Bayangkan aja, tadi Cheve nggak apa-apa aja tuh, setelah Alfred yang dengan anehnya mengumumkan pengumuman tadi, dia jadi badmoodoh!” Tiba-tiba tampang cemberut Greg berubah ceria. Ia mendekati David yang gelagapan didekati dengan perlahan. “Dave, apa menurutmu dia nggak pengin memperlihatkan sikapnya yang sedih karena dilarang pacaran denganku? Iya, ya? Iya, kan?” David mendorong Greg balik ke posisinya semula. “Kau tau nggak sih? Kalau sampai kita difoto dengan pose kayak tadi, image-ku bisa hancur, tau? Bisa-bisa aku dicap gay.” kata David emosi. Jelas aja, kalau image-nya hancur berantakan, gimana dengan karirnya? Masa depannya? Arrrgghhh si Greg memang kacau abis.

“Santai dong, Dave. Lagipula, kan, kau baru aja nge-date sama Tya.” Greg mengerling genit. Temannya mendelik. “Kau tau darimana?” Greg memutar mata. “Yah, aku kanmmmm, kira-kira ya1,2 hektometer dari lokasimu. Eh salah, mejamu tempatmu dan Tya berpegangan tangan dengan mesranya. Aduh, jadi pengin mengulang.” goda Greg.

Percaya atau tidak, wajah David jadi merona—sedikit. “Serius? Kok aku nggak tau?” ujarnya sedatar mungkin. Greg mengibaskan sebelah tangannya. “Gimana bisa tau? Dunia serasa milik berdua kok.” Greg bersiul-siul, lalu berdiri dan berjalan ke kamarnya. “Oh, ya, Dave. Aku mau menghafalkan dialogku. Jadi, jangan ganggu, ya. Kalau mau makan, delivery order aja deh. Aku lagi malas masak hari ini, oke? Bubye~” BAM.

David memutar mata lalu mendengus mendengar Greg yang tadinya tegang gara-gara Cheve yang tidak mau diantar menjadi Greg yang ceria karena tebakannya Cheve sedih mereka dilarang berhubungan. Benar-benar teman yang ajaib, pikirnya. David mengecek smartphone-nya. Hmmm, nggak ada SMS atau telepon dari Tya. Cowok itu menyandarkan kepalanya di sandaran sofa. Memang apa yang diharapkannya dari Tya? Sudah jelas gadis itu menyukai cowok lain. Sudah jelas Tya hanya memperalatnya saja. Dan mungkin sekarang, cewek itu berbaikan dan balikan lagi dengan cowoknya.

Hmmpptt, memikirkan hal itu membuat haus. Apa hubungannya David juga nggak yakin. Mungkin aja daritadi ia sudah haus, tapi buat lebih dramatis gitu lho. Huh, kulkas juga mahal-mahal semua isinya. Coba jalan-jalan saja deh. Katanya juga di sekitar sini banyak cafe keren. David bangkit, berjalan ke kamar John dan mengetuk pintunya yang ditutup. “John, kau mau ikut?” seru David. Tidak ada tanggapan. David mencoba membuka handel pintu. Tidak bisa. Ia mengggedor sekarang, bukan mengetuk. “John, kau di dalam?” serunya agak keras.

“Kau berisik banget sih!” dari dalam terdengar suara sebal yang membuat David lega. Dikiranya tadi mungkin John pingsan kek, bunuh diri, begitulah. “Kau mau ikut keluar nggak?” David tetap menggedor pintu John. Habis, masak dia nggak dibukakan pintu? Mulia banget si John!

“Nggak! Aku malas keluar. Kau keluar aja deh.” seru John dari dalam. David berhenti menggedor pintu John. Memang temannya itu nggak niat membukakan pintu buatnya. Huh, emang lagi ngapain sih dia? Palingan juga menghapal dialog. Oh, ya, ngomong-ngomong soal dialog.. haduh, David baru baca-baca saja, belum benar-benar hapal, padahal syuting dua minggu lagi. Hmmptt, David memegang kepalanya dengan tangan kiri. Hal-hal nggak penting ikut berseliweran di otaknya, membuatnya kacau. Ia menggeleng-gelengkan kepala, mengusir hal-hal yang tidak penting. Tangan kanannya meraih kunci motor dan dompet. Dompet dan smartphone ia jejalkan di saku jinsnya. Sedangkan tangan kanannya mengambil topi dan kacamata yang tersedia di tempat pajangan dekatnya. Hmm, jalan-jalan dulu deh.

Cheve berjalan gontai di trotoar dekat apartemen Greg. Yah, ia belum benar-benar jauh juga sih. Ini akibat si sutradara menjengkelkan itu.

Tadi waktu menunggu lift, ternyata Alfred juga sedang menunggu. ‘Heran, lama banget liftnya?’ adalah pikiran pertama yang menghinggapinya waktu melihat si sutradara menunggu sendirian di depan lift. Mendadak Cheve jadi pengin kembali—atau paling tidak menggunakan tangga darurat—daripada menunggu lift bareng sutradara angkuh yang menyinggungnya telak tadi. Sayangnya hari ini apapun yang diinginkan hatinya bertentangan dengan kehendak otaknya. Tau-tau saja Cheve sudah berdiri di samping Alfred, menunggu lift.

“Menunggu lift?” Heran, bisa-bisanya sutradara ini nggak mengerti ngapain Cheve berdiri di sampingnya. Masak iya beliau berpikir Cheve terlalu senang mejeng di sebelahnya gini? “Nggak juga sih, lagi menunggu delivery.” balas Cheve sinis. Alfred menghela napas. “Maafkan aku.” gumam Alfred. Cheve meliriknya sedikit, lalu berdehem. “Maafkan? Maaf apa?” pancingnya sok polos. Alfred menghela napas lagi. “Tentang larangan itu.. sebenarnya aku yang membuat aturannya, bukan Bill.”

      “Maksudmu?” Cheve jadi agak tertarik. Ini baru namanya detektif. Detektif itu yang bergerak langsung ke lapangan, bukan yang cuma bisa nganterin cewek ke apartemennya, tanpa sadar Cheve berpikir sinis ke Greg. Kembali ke kenyataan, Alfred menjejalkan tangannya ke kantong dengan gelisah. “Jujur aja, Cheve, sebenarnya.. sebenarnya dan sejujurnya aku agak takut dengan hubunganmu dan Greg.”

      Hah? Cheve terbengong. “Takut? Aku dan Greg?” ulangnya bingung. Maksud sutradara ini apa sih? Hah! Jangan-jangan.. “Kau naksir aku ya, Al?” Tuh, kan, otaknya hari ini kadang lemot, kadang ekstra cepat. Cheve terkejut waktu kalimat yang baru melintas sedetik di otaknya langsung menyembur dari mulutnya. Gadis itu menutup mulutnya, dan berkata semeyakinkan mungkin, “Sori Al! Yang tadi itu cuma bercanda kok! Serius! Duarius! Ah berapa rius pun, itu bercanda! Aku serius nih! Jangan ngempet ketawa kayak gitu dong!” Cheve kesal sekaligus pengin ketawa melihat badan Alfred terguncang-guncang menahan tawa dan wajahnya yang aneh memerah. Jangan-jangan ini karena darah yang dipompa terlalu cepat. Ya, kalau seseorang ketawa, deg-degan, ataupun marah, jantung berpotensi lebih cepat memompa darah ke seluruh tubuh. Cheve jadi panik. Waduh, kalau si Alfred yang sudah menua jantungnya bekerja cepat, terus tiba-tiba terhenti karena jantungnya capek, matilah dia!

“HUAHAHAHAHAHAHAHA..” Akhirnya karena tidak kuat lagi menahan tawa, suara tawa Alfred menggelegar sampai Cheve harus tersenyum paksa ke cleaning service yang lewat di dekat mereka dengan tatapan aneh dan curiga, untuk menandakan bahwa mereka berdua baik-baik saja. “Al! Kecilkan suaramu, dong! Bisa-bisa sebentar lagi apartemen ini hancur gara-gara suaramu.” desis Cheve sambil sesekali menoleh kiri kanan. Kan nggak lucu kalau sampai ada orang memergoki sutradara dan aktrisnya-di-masa-mendatang berduaan dan si sutradara lagi ketawa kayak orang habis melihat Joe Jonas makan sendal. Memikirkan itu membuat Cheve jadi berpikir-pikir lagi. Hmmm, kalau Joe Jonas makan sendal, sih, Cheve juga bakal ketawa. Bukan karena lucu—apanya yang lucu? Lebih lucu waktu cowok brengsek itu memutuskan Taylor dari sambungan telepon berdurasi 27 detik—tapi karena puas bisa melihat cowok yang menyakiti idolanya bertingkah tolol begitu. Hmmm, tapi kalau sandalnya terbuat dari bakpao sih, Cheve juga mau! Siapa yang nggak mau? Huh, sudahlah. Kenapa mikirnya sampai situ segala? Cheve menggeleng-geleng. Semua ini gara-gara Alfred yang histeris ketawanya.

“Oh, iya, sori Cheve.” Alfred mengusap air mata yang sempat menetes waktu ia tertawa tadi. Melihat tingkah Alfred, Cheve jadi teringat kepala sekolah SMP-nya yang juga kocak. Kepala sekolahnya lucu banget, meskipun dulu Cheve sering bertanya-tanya kenapa bisa seorang kepala sekolah gampang dibuat tertawa oleh lelucon terjayus sekalipun. Dan ketawanya itu lho, menggelegar banget. Padahal beliau seorang wanita. Tapi Cheve juga agak mengerti kenapa kepala sekolahnya selain sering diledek juga sekaligus ditakuti. Setiap ada murid yang melanggar aturan—aturan yang berat-berat maksudnya, kalau aturan ringan kayak membawa HP dilanggar, atau tidak pakai ikat pinggang diurus juga, bisa ubanan rambut kepala sekolah yang kocak—pasti dipanggil ke ruangnya. Dan kata-katanya pada anak-anak nakal tersebut, kata-kata paling keren sepanjang masa. Yah, Cheve memang nggak tau sih, kayak apa persisnya. Tapi gosip-gosipnya begitu. Setiap anak yang masuk ke ruangan kepala sekolah dengan sok, keluar dengan kepala tertunduk. Tapi bukan berarti mereka langsung tobat. Hmmm, iya deh, faktanya hanya 2% dari orang-orang pilihan itu yang sering kembali ke ruangan mulia itu. Sedangkan sisanya lebih memilih menjalankan kebusukan lama mereka sembunyi-sembunyi. Tapi biarpun 98% orang-orang pilihan itu tetap menjalankan kebusukan mereka, setidaknya kali ini mereka nakal sekaligus pintar. Selain itu juga lebih sopan dan jaim. Hmmm, Cheve agak ragu dengan kepala sekolah itu. Apa sih kata-katanya yang ajaib itu? Gosipnya juga dulu kepala sekolah itu salah satu fans beratnya Agnes Monica. Huh, pertama kali Cheve tau fakta itu, dia langsung berpikir “pasti kepala sekolahku adalah cewek baja yang bertekad kuat dan pantang menyerah”. Tapi ternyata pernah tuh, kepala sekolah absen sehari—alasannya sih ponakan istri suami anaknya sunatan—tapi sebenarnya gara-gara patah hati melihat Matsukaza Tori digosipkan pacaran dengan cewek lain. Hiih, nggak nyangka kepala sekolah berhati Hello Kitty juga. Selidik demi selidik, ternyata buku favorit kepala sekolah ini Spring in London, yang kata kepala sekolah sendiri “Buku yang membuat saya tersentuh karena perjuangan cintanya. Apalagi karakter cowoknya, uuh! Bikin meleleh di tempat tau nggak?”

Singkatnya, kepala sekolah masa SMP yang merupakan fans berat Agnes Monica yang tidak mengurusi masalah HP dan menjadikan Spring in London buku favoritnya selalu terkenang di hati.

Eh, katanya gosip terakhir kepala sekolah itu pindah jabatan menjadi ketua TU. Katanya juga akhir-akhir ini karena menyadari dirinya yang sudah bau tanah—halah berlebihan banget, baru juga 42 tahun—mantan kepala sekolah Cheve menjadi vegetarian yang fanatik sayur sawi. Cheve menebak-nebak sampai kapan program vegetarian mantan kepala sekolahnya bisa bertahan. Dulu aja sehari nggak makan daging sapi bisa pusing seminggu, katanya sih. Yah, anak-anak SMP memang ada yang suka menguping lalu menyebarkan gosip, ada juga yang hanya mendengar—a.k.a menguping atau mengorekgosip tanpa sebar kiri-kanan. Nah, kalau ini Cheve bisa digolongkan kategori terakhir.

“Cheve? Kau melamun ya?” sentuhan Alfred di lengannya membuat Cheve terbangun kembali ke dunia nyata. Hmmm, gara-gara kangen masa-masa SMP—terutama kelas 7, gosh, kelas 7 adalah masa-masa dimana kau yang innocent jadi tercemar oleh teman-temanmu yang kelihatan polos tapi ternyata.. Well, singkatnya masa-masa paling seru—jadi nyuekin Alfred begini. Wajah Alfred langsung terlihat datar. “Jadi kau tidak mendengar ocehanku barusan?” tuduh Alfred telak. Cheve menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, lalu, “Maaf, Al, sayangnya tidak. Jadi kalau kau berkenan, kau mau mengulangnya mungkin?”

Alfred menghela napas, lalu menunduk. “Aku bilang tadi.. aku takut hubunganmu dan Greg. Maksudku, ayolah, aku juga pernah muda. Tapi masak.. masak secepat ini Cheve? Peraturan tadi itu hanya kubuat untuk menggertak kalian, aku tidak serius mengatakannya. Sungguh. Aku hanya ingin melihat bagaimana tanggapan kalian.” Ia terdiam sebentar, lalu menatap Cheve. “Tapi kenapa tadi kau nggak marah, Cheve? Kenapa kau nggak protes? Lalu aku yakin sebagian dari otakku yang mencetuskan ide gila ini benar,” Alfred memelankan suaranya, “kau belum yakin dengan hubungan ini. Ya, kan?”

Cheve tersentak. Tidak, sejak kapan ia meragukan Greg? Meragukan hubungan mereka? Meskipun pertemuan mereka terbilang cepat, sangat cepat, tapi Cheve yakin Greg dan dirinya yakin atas perasaan masing-masing.

Lalu kenapa perasaannya jadi bimbang waktu Alfred mengatakannya?

Karena seakan Alfred menegaskan perasaan hati kecilnya yang belum siap dengan komitmen semacam ini. Apalagi dengan seorang aktor yang oke dan dikelilingi cewek-cewek yang nggak kalah oke yang menggoda setiap saat. Memikirkannya saja sudah membuat Cheve panas. “Al.. kau.. kenapa..” Cheve berusaha menemukan kata-katanya yang bagai menghilang ke ujung samudera.

Alfred menggosok-gosok hidungnya. “Karena aku juga melihat itu di Greg, Cheve.” Cheve mendongak terkejut. “Kau mungkin nggak menyadarinya, karena kalian saling merecoki otak dengan ‘aku suka dia’, dan mungkin kalian bisa menipu orang-orang di sekeliling kalian, tapi,” Alfred tersenyum sekilas, “kalian tidak bisa menipu diri kalian sendiri. Cepat atau lambat perasaan bimbang itu akan semakin kuat, dan akhirnya merusak hubungan kalian. Jadi..”

      “Al, tapi kurasa kau juga terlalu cepat menilai kami.” potong Cheve tiba-tiba. “Kau tau kapan kami bertemu dan berkenalan? Itu waktu kita bertemu di bandara. Dan di pesawat, kami, mmmm, sedikit banyak bercerita tentang diri masing-masing. Dan waktu sorenya, kami tidak sengaja bertemu di cafe, dan, hmmmm, Greg, mmm, mengantarku pulang.” Cheve sengaja tidak bercerita tentang adegan ala drama Korea itu pada Alfred yang sudah cengar-cengir seakan mengerti apa yang terjadi setelahnya. “Jadi kurasa, mungkin aja memang kami bimbang sekarang, karena dalam proses pengenalan. Tapi, kurasa kau ada benarnya juga.” Gadis itu mengibaskan poni sampingnya yang terurai ke belakang. “Dan tapi, kurasa kau juga sebaiknya memberi kami kesempatan dulu, siapa tau kau salah tentang kami.” Bahkan Cheve sendiri yakin suaranya terdengar gamang mengucapkan kalimat terakhir.

Alfred mengembuskan napas lega. “Yah, kalau begitu oke. Kalau memang kau mau begitu.” katanya lega. Cheve tertawa kecil. “Kenapa kedengarannya lega banget? Kau takut aku ngambek padamu ya?” godanya. Tidak disangka Alfred mengangguk samar. “Beneran?” Cheve tak percaya. Alfred menggerak-gerakkan tangan salah tingkah. “Hmmm. Jadi begini, Cheve, aku jarang dekat dengan para cewek..”

      Baru saja Cheve akan menyanggah perkataan Alfred, pintu lift yang seakan tertutup lem dengan rapat tadi terbuka dengan seorang yang berseragam teknisi di dalamnya. “Maaf, tadi lift mengalami sedikit masalah. Silakan masuk.” Teknisi itu tersenyum. Cheve balas tersenyum. Ia paling suka dengan orang-orang yang suka tersenyum. Dengan tulus tentunya. Daripada artis atau petinggi-petinggi yang bersifat angkuh, ataupun para remaja cewek yang kelihatan bahagia tapi ternyata suka memalsukan senyum, Cheve lebih suka orang-orang ‘bawahan’ yang ramah senyum dengan tulus. Daripada berhadapan dengan presiden perusahaan yang mukanya cemberut mulu, mending beramah-tamah dengan orang kayak begini.

Tapi sekarang suasana hatinya sedang kacau.

“Ayo masuk, Cheve.” Cheve menghindar dari dorongan Alfred ke lift. Ia tersenyum sedikit, “Nggak deh. Aku pakai tangga darurat aja.” katanya perlahan. Mata Alfred langsung membulat. “Tangga darurat? Gila, ini kan lantai 13, Cheve!” serunya kaget. Cheve memutar mata. “Please deh, Al. Aku masih 18 tahun! Masih kuat, dong. Iya kalau kau.” omel Cheve. Ia melambaikan sebelah tangan. “Bye!” lalu berjalan menuju tangga darurat.

Huh, Cheve menendang udara mengingat kejadian tadi. Yah, kalau dipikir-pikir Alfred ada benarnya juga. Mana ada orang yang cukup gila untuk langsung ciuman setelah dua—atau tiga—pertemuan? Nggak ada. Semua orang cukup waras untuk tau bahwa itu hanyalah perasaan sementara. Cheve menghela napas. Kenapa semuanya terasa ribet begini?

Sudahlah, Cheve memasuki sebuah cafe warna coklat kayu dengan hiasan daun-daun berwarna tenang dan lembut di sekitarnya. Serasa masuk ke tahun 70an, batin Cheve melihat sekitar cafe itu. Lukisan-lukisan yang dipajang antara lain Enstein, Edison, Benjamin Franklin.. Buset, ini cafe atau perpustakaan terselubung sih? Cheve senang-senang aja kalau disuruh baca novel—apalagi novel thriller romantis-nya Lexie Xu—duh jadi keinget si Ojek!— tapi kalau buku-buku pelajaran, sori deh. Cheve ngedumel dalam hati sambil memilih tempat duduk.

Tempat duduk dekat jendela yang bening dengan dua kursi berhadapan. Cheve meletakkan folder bag-nya di meja, lalu melihat-lihat menu. Eh gila, disini ada jus pisang segala. Jadinya gimana tuh rasanya? Cheve nyengir. Menarik juga nih. “Jus pisang satu.” ordernya pada salah satu waitress disitu. Waitress itu mencatat pesanan Cheve sambil tetap cemberut. Huh, Cheve berimajinasi. Jadi begini tampang si Ojek di bukunya Lexie Xu itu? Hmmmppptt, nggak kali ya. Ojek di buku itu keren, kece walau saat cemberut sekalipun, belum lagi tajir. Sedangkan waitress ini udah mukanya nggak jelas bentuk apa, rambutnya berantakan, dan belum lagi.. hanya seorang waitress. Bukan eks Harvard yang menolak kuliah di universitas bergengsi demi bisa deket sama ceweknya, melainkan yang memang nggak niat, atau mungkin nggak bisa melanjutkan kuliah. Eh tapi mungkin juga cowok ini memang sengaja kayak Vik yang menyamar jadi Ojek demi Erika. Duuh, apa mungkin, ya, nanti jodohku cowok ini? Apa nanti dia juga cowok yang oke? Yang menyukaiku apa adanya? Yang rela melakukan apapun asal berada dekatku? Cheve berpikir penuh harap.

“Yo, Cheve!”

      Cheve terbelalak menyadari David menepuk pundaknya sekilas dan tanpa ba-bi-bu langsung duduk di kursi seberang Cheve. Cowok itu dengan santainya memesan, “Mochacinno satu.”

Lalu waitress tidak ramah itu berlalu dari hadapan mereka. “Ngapain kau disini?” Cheve tergagap menyadari suaranya ketus sekali. David mengangkat alis. “Hmmm, yah, jalan-jalan. Ngomong-ngomong apa kacamataku bagus? Aku beli dari temanku lho. Kau mau?”

Cheve mendesah sebal mendengar ocehan David yang nggak bermutu. Bagaimanapun, perasaannya masih kacau sekarang. Jelas kacau. Bagaimana perasaanmu ketika kau datang ke Amerika untuk beasiswa Harvard, lalu ditawari kontrak menjadi aktris di serial detektif favoritmu, lalu dipacari cowok yang belum seminggu mengenalmu, lalu dibimbangi oleh sutradaramu?

Bagaimana perasaanmu?

“Mmm, Cheve, kau boleh cerita padaku kalau ada sesuatu yang tidak beres.” kata David perlahan. Cowok itu akhirnya menyadari tanggapan Cheve yang ogah-ogahan terhadap ceritanya. Cheve menggigit bibirnya sambil melihat ke meja yang berkilat bersih. “Aku..” Cheve jadi ragu. Bagaimana kalau David cerita ke Greg tentang masalah ini? “Aku nggak papa,” gadis itu menggelengkan kepala dan tersenyum. David menyipitkan mata. “Ya sudah. Aku hanya berniat menjadi kolam curhatanmu kok.” katanya sambil tertawa ringan. Cheve tersenyum sedikit.

“Dave, kau pernah pacaran?” Tiba-tiba Cheve bertanya. David mengerjap-ngerjap. “Apa?” tanyanya seakan tidak yakin Cheve bertanya tentang apa tadi. Cheve mengetuk-ngetuk jari di meja dengan lambat. “Kau pernah pacaran?” ulang Cheve. David menatapnya heran. Apa Cheve belum mendengar dan tau gelar yang disandangnya?  “Yah, aku tau sih kau playboy,” ujar Cheve datar membaca pikiran David, “tapi aku ingin mendengar arti pacaran dari seorang playboy sepertimu. Jadi.. menurutmu bagaimana?” Jari-jari Cheve yang di bawah meja saling meremas gelisah.

David tertawa. “Kau berniat putus dari Greg?” That was an ouch. Cheve menarik ujung-ujung bibirnya ke bawah. “Aku.. hmmm, ceritamu dulu. Baru kuberitau.” tawar Cheve. David berpikir-pikir. Hmmm, memang dia pernah serius pacaran?

“Yah, kalau kau pusing mau milih yang mana, yang tadi sore aja deh.” Senyum jail terukir di bibir Cheve yang pink lembab. David pura-pura terbatuk mendengar tawaran Cheve barusan. “Kau beneran mau dengar yang tadi sore?” Jujur saja, sebenarnya David juga pengin di-kepo-in orang. Huh, John sama Greg memang nggak seru. Masak mereka berdua sama sekali nggak penasaran, sih, tentang Tya?

Cheve nyengir. “Sangat.” ujarnya singkat. David berdehem dan mencondongkan badan ke depan. “Yakin bisa jaga rahasia?” Cheve ikut mencondongkan badan, meskipun tetap menjaga jarak agar tidak dekat-dekat amat dengan David. “Kau berhadapan dengan Bank Rahasia yang paling tepat.” kata Cheve meniru kata-kata di buku Save Secret Deposit Box yang bergenre remaja itu.

“Okay, so here we go.”

[TBC]

Okeeeee setelah molorrr karena author nya jg bingung cara nyampein maksud ke readers, akhirnya molor deh *bangga banget* Yah, pokoknya ini deh. Huehehe. Anyway, if you feel like it, you’d like and comment below? Thanks a whole heart!

love always,

Green

One thought on “I Got You

Leave a comment