Stories You SHOULDN’T Read (1/4)

1. Everything Has Changed

Aku tidak percaya adanya cinta. Setidaknya begitulah keyakinanku sebelum aku bertemu dia.

Oh, tentu aja aku nggak bakal berkata “hei, aku naksir kamu lho” yang pastinya konyol banget dan menjijikkan. Sebagai cowok, aku punya harga diri yang tinggi dan aku menolak untuk merendahkan diri di hadapan seorang cewek pintar. Eh, tunggu dulu. Rasanya dia juga menulis deh, semacam penulis gitu. Yang kutahu sih ya begitu. Ampun, masa kau juga nanya aku tahu darimana? Kayak nggak pernah naksir orang aja. Nggak perlu kusebutin lah nama orang-orang yang kuinterogasi demi mengetahui hal-hal tentang (calon) cewekku. Hah rasanya hina sekali waktu itu. Aku yang biasanya cuek pada cewek jadi repot-repot gara-gara sebutir—eh sori, maksudku seorang—cewek.

Aku tahu kali ini—cuek pada cewek bukan berarti aku nggak menaruh perhatian pada beberapa dari mereka—aku naksir cewek yang bukan tipeku sebelumnya. Oh, mau tahu tipeku? Janganlah, entar malah kau bocorkan pada (calon) cewekku. Bisa-bisa hilanglah semua kesempatanku mendekatinya.

Ngomong-ngomong soal pedekate, sebenernya aku juga bukan cowok yang jago mem-pedekate-in cewek kok. Jadi buang jauh-jauh anggapan playboy dari otakmu tentangku. Ngomong-ngomong, kali ini aku juga agak nggak seberapa pede karena (calon) cewekku lebih tua. Sekali lagi, jangan mikir aku lagi naksir senior berbadan besar dengan gelar ketua OSIS. Nggaklah, seleraku masih bisa diterima kok. (Calon) cewekku lahir bulan Januari, sedangkan aku.. Ugh aku lahir kapan, ya, jadi lupa. Yah, begitulah aku beberapa minggu ini. Kalau sudah menyangkut (calon) cewekku jadi lupa segala hal.

***

Sebenernya, kalau kau bertanya kapan aku mulai naksir, aku juga nggak tahu.

Semuanya terjadi begitu aja. Umpamanya seperti sewaktu kau lagi menjerang air di panci, lalu kau menunggu sambil membaca. Saking asyiknya membaca, kau sampai lupa air di panci yang sudah panas dan mendidih. Sampai akhirnya ketika kau sadar, kau mendapati air di panci sudah tinggal sedikit dan hawa di sekitarmu panas (pikirkan saja dapurmu 2×1 meter ya).

Seperti itulah aku.

Pertama-pertamanya aku tidak seberapa tertarik dengannya. Selain karena dia cewek cerdas (dan yang pokoknya memenuhi persyaratan sebagai murid teladan), kelihatannya dia juga sedikit membosankan. Lihat aja roknya. Sementara sebagian besar siswi di kelas 7 ini memendekkan rok mereka sependek-pendeknya (yang membuatku berpikir apa mereka nggak kedinginan sewaktu ada angin lewat), dia malah menerima rok biru gelap itu apa adanya. Selain itu, tasnya yang berwarna hitam gelap memberi kesan dia seorang yang pemurung. Rambutnya yang hitam agak panjang diurai, meski kadang diikat atau dijepit. Pokoknya tidak ada yang menarik minatku untuk berkenalan lebih jauh. Karena dia merupakan golongan cewek baik-baik, dan semua orang tahu cewek baik-baik sangat membosankan.

Lalu terjadilah permainan mengerikan itu.

Di kelas 7 sekarang sedang ngetren permainan ToD—Truth or Dareyang berarti kau memainkan suatu permainan, dan kalau kau kalah, kau harus memilih untuk ditanyai anggota lain dan menjawab jujur, atau ditantang melakukan sesuatu dan kau harus melakukannya. Suka atau tidak. Biasanya anak-anak kelas mengombinasikan ToD dengan permainan woosh. Aduh, sori, kalau woosh rasanya aku tidak bisa menjelaskan dengan kata-kata. Kurasa kita harus bertemu, supaya aku bisa mempraktekkannya langsung di hadapanmu. Eitss, tapi jangan naksir padaku karena kegantenganku lho ya. Ingat, aku sudah punya calon sendiri. Oke silakan muntah.

Biar kuberi tahu, ternyata dia juga punya perkumpulan. Tahu, kan.. semacam geng begitulah. Yang menarik perhatianku dari geng mereka terdiri empat cewek yang terdiri dari macam-macam sifat dan karakter. Ada Erin, cewek Bali yang kurus, lumayan tinggi (di antara mereka berempat), muka oval agak kotak, dan rambutnya panjang (yang kasihan banget kalau sehabis keramas nggak kering-kering rambutnya yang panjang hitam lebat itu). Orangnya—sepanjang pengamatanku—santai dan panik di last minute. Mmm, kelihatannya semua orang panik kalau sudah last minute ya. Pokoknya begitulah. Oh, dan kata temanku si Elip—yang gosipnya punya affair sama..—Erin juga ngefans dengan Taylor Swift. Aku tidak tahu banyak tentang Swift, selain kebiasaannya menulis lagu untuk mantannya yang seabrek. Ssst! Jangan sampai Erin mendengar ya. Bisa pupus harapanku mendekati (calon) cewekku yang juga teman baiknya. Kedua, ada Sica. Entah apa yang merasuki otak orang tuanya sampai memberinya nama Sica. Yap, hanya Sica, bukan Jessica kek, Prosica—yang ini agak aneh, aku bahkan nggak mengerti kenapa aku mencetuskan nama Prosica—atau yang lainnya. Aku nggak mengejek lho, hanya kedengarannya aneh dan baru aja gitu. Sica ini orangnya agak keras menurutku, selain itu ia juga judes pada para cowok yang membantahnya. Weits tunggu dulu. Meskipun judes galak dan keras, Sica orangnya pedulian pada teman-temannya. Bisa kulihat ketika bareng teman-temanya, Sica sering tertawa dan tersenyum. Mungkin cewek itu terlahir untuk membenci para cowok dan baik pada sesama jenisnya. Sica ngefans pada Avril Lavigne—itu yang kutahu dulu, tidak tahu kalau sekarang sudah berganti. Aku nggak pernah mendengar gosip tentang percintaan Sica. Wajar aja, siapa sih yang berani dekat-dekat dia? Bagai menyerahkan diri pada mulut buaya. Happpp. Next, ada Meg. Sejujurnya aku kurang mengerti yang kali ini. Kadang dia diam aja, kadang juga tertawa dahsyat sampai air matanya muncrat-muncrat kesana-sini. Singkatnya, Meg ini misterius. Menurut pandanganku sebagai cowok, cewek ini memendam—dan tahu—banyak hal di hatinya. Tapi—kudengar-dengar dia seorang Aquarian, cewek berzodiak Aquarius—dia sedikit berbicara. Oh, ya, Meg adalah seorang Selenator—penggemar Selena Gomez. Lihat, bahkan keterangan teman-teman baiknya pun aku tahu benar. Bukankah aku calon cowok yang sangat baik?

Dan yang terakhir.. Felsa.

Bahkan mengucapkan namanya saja membuat sesuatu dalam dadaku tersenyum. Oh benarkah hati bisa tersenyum? Entahlah, pokoknya rasanya seperti itu. Seperti yang sudah kukatakan di awal-awal, kesan pertamanya padaku adalah membosankan dan tidak menarik. Tapi sekarang, kutarik semua yang kuucapkan—rok kepanjangan, nilai yang bagus-bagus, tas hitam, rambut terurai—kutarik semuanya.

Semenjak dia menyatakan perasaan padaku.

Oh, hei! Jangan tertawa! Aku tahu kau sudah mulai tersenyum-senyum. Dan aku agak yakin kau mengerti maksudku. Tentu dia tidak menyatakan perasaan sebenarnya padaku. Tapi itu cukup. Aku tidak tahu kenapa cewek secerdas dia bisa kalah main woosh dan ToD bareng Dick teman dekatku, yang kutahu selanjutnya adalah dia berdiri di depanku—yang sedang mengerjakan peer matematika unfinished yang kukutuk tujuh turunan—lalu dengan malu-malu berkata, “Ini dare lho.” Dia mengambil napas sebentar, lalu, “ Vic, I love you.”

Blarrrrr. Setelah itu dia (yap, karena menyebut namanya membuat hatiku tersenyum sendiri) berlari cepat ke belakang—yeah, tempat dudukku di depan—tempat bermainnya bareng anak-anak lainnya dan disambut sorakan meriah. Bisa kuprediksikan kalau saja ada radio atau speaker, We Are The Champion-nya Queen bakal berkumandang dan seantero kelas bergabung dengan menari hula-hula.

Agak lebay sih.

Hmmm. Yang terjadi padaku setelahnya adalah aku masih tercengang. Antara bingung dan penasaran. Bingung karena mau-maunya dia disuruh dare ke aku. Dalam beberapa kondisi, korban—maksudku pemain yang kalah—bisa meminta ganti target dare ataupun pertanyaan truth. Penasaran atas alasan dia mau mengatakan kata-kata barusan padaku. Aku menoleh ke belakang sambil nyengir, berusaha memperlihatkan bahwa aku juga sedang mengerjai cewek itu. Dan yang kuterima adalah sorak-sorai para pemain ToD di belakang sana yang melihat gantian padaku dan padanya.

Aku berbalik lagi dan berusaha memusatkan perhatian ke peer matematikaku. Tidak bisa. Sial. Aku baru tahu ocehan tidak serius dari seorang cewek tidak menarik bisa memporak-porandakan konsentrasiku.

***

Aku meletakkan tasku di kursi dengan ngantuk. Beberapa malam ini aku hanya tidur beberapa jam. Awalnya sih karena belajar geografi. Nggak kok, aku masih waras. Aku meyakinkan diri bahwa aku nggak bisa tidur karena hari ini ulangan geo dan aku belum belajar kemarin, bukan karena dare dan segala tetek-bengeknya. Aku menarik napas, lalu duduk. Gengnya Sica sudah berkumpul. Aku kadang heran kenapa para cewek suka banget kumpul-kumpul demi sekedar ngomongin musik baru yang lagi hot, fashion baru di London Fashion Week, ataupun ngebahas film semacam Twilight Saga atau K-Drama bahkan. Apa serunya sih? Seruan juga nongkrong bareng ngomongin nama clan CS dan ngebahas siapa masuk clan siapa, main gitar sambil nyanyi lagu metal, atau ke rumah temen buat main PS atau.. ngeliat bokep—sungguh demi apapun, yang terakhir ini aku nggak pernah, sungguh! Tapi aku tahu banyak cowok ngeliat gituan. Kadang serba salah juga. Kita kan masih remaja, belum waktunya lihat-lihat begituan, tapi ya.. kan penasaran juga! Nah kan, serba salah. Ya sudahlah aku nggak ikut-ikut. Sungguh lho, aku nggak pernah lihat begituan. Aku kan innocent he he.

Bel berbunyi menandakan jam belajar mengajar segera dimulai. Aku mengerjap-ngerjap. Semoga hari ini berjalan dengan baik.

***

Ah! Akhirnya istirahat.

Aku duduk-duduk di pinggir lapangan bareng teman-teman yang lain. Sebenarnya aku pingin baca-baca buku geo di kelas, karena semalam dan tadi pagi aku belum memahami betul lapisan luar dalam inti bumi. Karena setelah istirahat kedua ini, dua jam pelajaran terakhir adalah geografi. Haish, kadang-kadang aku bingung manfaat belajar geografi. Bahkan setelah ulangan tentang awan-awan kumulus dan kawan-kawan itu aku belum bisa meramal sebentar lagi hujan atau nggak. Ngapain sih repot-repot? Toh kalau mau hujan kan langitnya mendung. Apa tanda mendung belum cukup? Sampai ke awan-awan segala. Lapisan bumi juga. Memang aku mau jadi pengamat atmosfer gitu? Dih, sori aja. Menurutku ya, kalau emang udah waktunya, nggak usah pake diamati juga udah the end kali hidup orang! Aku memberengut, berharap istirahat ini selamanya. Jadi nggak usah ulangan geo. Mana yang ngajar wali kelasku sendiri, Pak Anif. Sebenarnya gaya ngajar beliau asik sih. Nggak tegang dan menekan. Tapi ya gitu, setiap pertemuan disuruh mencatat. Lumayanlah, bikin tangan pegal.

Aku mengerang mendengar bel masuk yang kubenci—kalau bel masuk sih aku cinta setengah mati—menjerit-jerit di seantero sekolah. Aku dan teman-temanku bergegas bangkit dari duduk-duduk dan berjalan ke kelas kami yang ada di lantai tiga. Sembari berjalan, aku jadi teringat dia. Aku yakin dia sudah sangat siap dengan ulangan sehabis ini. Bahkan kalaupun sehabis ini diumumkan ulangan fisika—ya Tuhan jangan sampai!—aku yakin dia siap. Aku nggak bakal kaget kalau dia punya jam belajar khusus setiap hari. Aku yakin menjadi cerdas butuh pengorbanan. Nggak seenak jidat mau belajar atau nggak. Yah, memang ada sih orang yang memang cerdas luar biasa, tapi itu 1: 1000. Orang cerdas bisa aja kalah sama orang rajin. Weitsss, kayaknya aku jadi mendadak bijak. 😀

Sepuluh menit kemudian sekelasku sudah di kelas. Ada yang di luar juga, karena Pak Anif belum datang. Asal tahu aja, aku bangga sekali bisa menjadi sebagian kecil dari 71, kelasku. Sementara kelas 7 lain bergabung, kelas kami bagaikan menyendiri. Yap, lantai kelas kami terpisah dari kelas 7 lainnya. Lantai 3 kami ini hanya berisi ruang kelas 71 dan ruang serba guna. Tapi bukan berarti kecil banget lho. Cukuplah buat anak-anak kelas kami kumpul-kumpul dihukum sekelas gara-gara lupa bawa tugas. Percaya deh, seru banget dihukum. Asal dihukumnya barengan sih. Kalau sendirian sih tengsin iya. Tiba-tiba Prenky masuk kelas dengan ketawa-tawa tengil dengan suara bass ala cowok puber, “Pak Anif! Pak Anif!” disusul segerombol cowok yang juga dari luar kelas masuk ke kelas. Kami sekelas langsung balik ke tempat duduk masing-masing dan pasang tampang sok alim. Aku yakin gengnya Erin juga begitu. Dan geng-geng lainnya. Aku memijat-mijat kening. Matilah aku.

Ketua kelas kami, Indro, memberi perintah lantang untuk memberi salam. Aku tahu anak-anak lain ada yang senyum-senyum, ada juga yang pasang tampang pasrah agar dikasihani. Kalau pelajaran geografi, kami nggak bisa bertanya pada kelas lain yang sudah ulangan duluan, karena soal yang diberi Pak Anif beda-beda. Sama pun juga hanya satu dua nomor. Parahnya, Pak Anif yang baik hati ini hanya memberi lima soal, bahkan kadang empat! Bisa dibayangkan betapa frustasinya Ipe—panggilan akrabnya—teman baikku sekaligus anak paling tengil di kelas menghadapi ulangan geografi yang menjengkelkan luar biasa. Tenang, Pe, kali ini aku juga cemas dengan ulanganku kok.

Pak Anif ini orangnya santai dan suka bercanda—asal tidak kau candai tentang nama bapaknya saja—dan kalau ulangan suka murid-muridnya duduk sesuai nomor absen. Tahu, kan, anak bernomor absen satu duduk di kursi dekat pintu—yang berarti kursiku—di belakangnya nomor dua, nomor tiga, begitulah. “Duduk sesuai nomor absen.” ujar beliau dengan nada biasa. Sepertinya beliau mengerti ketegangan para muridnya yang imut-imut. Kami mengeluarkan secarik kertas ulangan dan tepak, menutup tas kami, dan meletakkannya di depan kelas. Setelah itu kami duduk sesuai urutan nomor absen. Sial! Aku memaki dalam hati karena melupakan lapisan Bumi yang paling luar. Buru-buru kutanyai Ipe yang duduk di sebelahku—sebelah maksudnya seberang, karena kami duduk sendiri-sendiri, bukan dua orang dua orang—dan jawabannya malah dia ikut lupa. Gawat. Aku melihat Erin yang duduk di belakang Ipe karena nomor absennya setelah sahabatku itu. Sebenarnya namanya bukan Erin, itu nama tengah. Tapi, yah, sepertinya nama depannya itu nama bapak seseorang di dekatku, jadi secara bijak aku menghindari pemanggilan dengan nama depannya yang indah itu. “Rin, lapisan terluar Bumi apaan sih?” tanyaku sedikit berbisik, karena suasana kelas mulai tenang. Erin menggigit-gigit jarinya. “Aduh, apaan ya? Mati deh, itu, mmm, rasanya—“

“Kerak bumi.”

Meg—yang di sebelah Ipe—menatap kami bertiga dengan pandangan oh-kalian-panik-banget-sampai-lupa-segala-hal. Lalu ia menghadap depan, dan menggumam, “Terbagi menjadi dua, yaitu kerak samudera yang ketebalannya 5-10 km, dan kerak benua 20-70 km.” Ia nyengir menatap kami yang—sepertinya—melongo. “Wow, tau darimana Meg? Kerennnn!” Erin berkata kagum. Ipe juga. Aku juga. Masalahnya, keterangan kerak samudera dan kerak benua bahkan tidak disebut-sebut di paket maupun catatan yang diberikan Pak Anif. Meg berpura-pura mengibaskan rambut. “Siapa dulu dong!” cetusnya pongah. Lisa yang duduk di depan Meg berbalik badan, “Okeeeeee Memetttt!” godanya, lalu terkikik. Lisa juga teman baikku, karena dia teman baik Ipe sebelum aku mengenal Ipe. Tapi mereka pure temenan kok, nggak ada perasaan spesial campur tangan. Lisa sekarang bahkan menjalin hubungan dengan seorang cowok 72. Meg tertawa pelan mendengar godaan Lisa. “Tau darimana Met?” tanya Ipe penasaran. Ipe dan Lisa ini senada banget. Meg mengangkat sebelah alis sambil tersenyum kecil. “Beritau nggak ya..”

“Felsa ya?”

Dasar idiot! Aku memaki-maki diriku sendiri karena keceplosan barusan. Meg menatapku heran. “Yap, emang. Kok tau?” sahutnya. Lalu seakan bertelepati dengan temannya, Erin menimpali, “Ooh, itu kan gara-gara si Vic merhatiin Felsa terus!” yang disambut sorakan dan ehem-ehem pelan dari teman-temanku itu. Aku memasang tampang cuek dan tidak peduli. “Nebak aja kok. Kan yang kutau dia anaknya suka baca-baca,” kataku sambil mengangkat bahu. Beruntunglah dia duduk agak jauh dari tempat kami saat ini, karena nomor absen kami 20 ke atas, sedangkan dia nomor absennya 12. Tapi aku jadi berpikir-pikir. Sica nomor absen 20—yang berarti di sebelah Erin yang satu baris lebih belakang dari barisan lainnya—Meg nomor 26, di sebelah Ipe yang berarti sejajar denganku, dan Erin di belakang Ipe. Semua temannya dekat denganku, tapi kenapa dia mencar sendiri sih? Aku geregetan menyadari fakta itu. Seandainya saja huruf depan namanya berabjad mendekati akhir, pasti dia juga bakal duduk dekatku.

“Ooh, mungkin Vic masih kebawa gara-gara dare kapanannya!” sela Sica, yang ternyata menguping selama ini. Yang lain langsung ricuh dan tertawa. “Eh, Vic, kalo suka baca-baca sih, aku sama yang lain juga suka kali! Tapi, ya, emang cuma Felsa yang seneng baca non-fiksi macem Astrologi.” kata Meg sambil tersenyum penuh makna. Mungkin dia tahu ucapannya bisa memperkaya pengetahuanku tentang dia. “Ivan, Vic, Megmeg, Putu, Lisa,” tahu-tahu Pak Anif menyebut satu-satu nama kami, “mau ulangan di luar?” Kami menelan tawa dan ejekan-ejekan yang akan terlontar, lalu Ipe dengan gagahnya menjawab, “Nggak, Pak, makasih.” tolaknya bersahaja dengan mengangkat satu tangan sekilas. Pak Anif tersenyum ala senyumnya sendiri—duh aku bingung menjelaskan, soalnya senyumnya Pak Anif itu khas banget—dan duduk di kursi tinggi. Saatnya pembacaan soal.

Selesai membacakan—dan para murid mencatat—soal, Pak Anif menulis-nulis sesuatu di kertas. Kenapa sih para guru selalu menulis? Apa mereka nggak bosan dan capek menulis terus? Aku membuang napas. Soal-soal di kertas ulangan yang sudah kucatat menjadi nanar di mataku. Hanya 2 pertanyaan yang bisa kuingat jawabannya. Kulihat sekitar. Ipe yang menggaruk-garuk kepala dengan pasrah, Erin yang memejamkan mata sambil menggumam-gumam, Meg yang mengetuk-ngetuk bolpen di kepala, Lisa yang diam dan menatap kosong, Sica yang menulis-nulis, dan..

Tanpa sadar pandanganku jatuh di dia. Aku tahu orang menulis dengan cara yang sama, tapi cara Felsa menulis di kertas ulangannya terasa lebih memikat ketimbang cara Sica. Padahal mereka menulis dengan posisi dan cara yang sama. Mmm, mungkin agak beda, karena dia kidal. Tapi badan mereka sama-sama condong ke kiri, dan kaki mereka sama-sama menekuk. Kadang-kadang dia berhenti sebentar dan menggumam sambil menggerak-gerakkan jari-jarinya, lalu menulis lagi. Kurasa dia bisa mengerjakan tanpa halangan sepertiku. Poni-poni Felsa mendadak jatuh karena tidak dijepit atau ditahan apapun. Dengan luwes dia menyingkirkan poni-poninya itu dengan tangan kanannya yang bebas. Dinaikannya poni-poni usil itu ke atas, dan mulai menulis lagi. Aku tidak sadar berapa lama aku mengamatinya. Yang kutahu sewaktu aku mengamatinya, seakan sekelas ini pudar, blur. Hitam putih semua, hanya dia yang berwarna. Seakan semua warna disini habis diserap olehnya. Bahkan rasanya aku bisa mendengar hembusan napasnya.

Ketika aku melihat Felsa, aku hanya bisa melihatnya.

“Vic, ngapain ngeliatin Felsa?”

Sindirian telak Pak Anif dari depan kelas serasa bergaung-gaung di kelas. Menyebabkan sekelas menoleh padaku, menyebabkan aku buru-buru mengalihkan pandanganku dari dia yang sekarang juga menatapku. Sedetik kemudian kelas menjadi ricuh dan ramai bak demo buruh, bedanya kali ini bukan bensin ataupun api yang digunakan, suit-suit, ehem-ehem, tawa menggoda, tatapan aku-tahu-kau-ada-rasa bagai memojokkanku. Aku melambai-lambaikan tanganku di udara, sembari menyerukan, “Enggak kok Pak!” yang pastinya membuat suasana semakin ricuh. Pak Anif tersenyum berarti di depan kelas. “Kalo gitu ngapain ngeliatin kayak tadi?” ujarnya seraya memperagakan cara melihatku tadi dengan gaya sangat konyol dan lucu sehingga menyebabkan sekelas tertawa dan bersorak-sorak. “Nggak gitu juga kali Pak,” seruku tertahan. Aku nggak berani menoleh ke Felsa, karena yang terjadi bakalan aku salah tingkah. Dan itu cukup untuk bukti aku ada rasa padanya.

“Sudah, sudah. Malu lho anaknya.” ujar Pak Anif lagi sembari tergelak. Aku jadi pingin suatu hari nanti mencari tahu nama bapaknya kusebar luaskan di sekolah. Arrrgghhh, aku jadi terobsesi! Kelas riuh sebentar, lalu perlahan reda. Suasana kembali menjadi sunyi. Dalam sunyi itu aku jadi berpikir lagi. Ya, setelah dare pertama itu, masih banyak dare-dare lainnya yang ditargetkan padaku. Semula aku hanya nyengir melihatnya malu-malu dan Dick yang tertawa dengan suaranya yang belum akil balik itu, tapi lama kelamaan aku jadi bertanya-tanya. Apa benar itu hanya dare atau dia juga ada rasa padaku? Maksudku, terang sajalah, kalau aku jadi dia, aku nggak bakal mau disuruh menyatakan cinta pada orang yang aku nggak suka meskipun itu cuma dare.

Lain kalau aku memang suka.

Aku melirik Felsa, yang kembali menekuni pekerjaannya. Apa dia hanya bercanda dengan membuat gosip di antara kami supaya kelas lebih meriah, atau dia..? Aku memejamkan mata. Tidak, cewek sepertinya tidak perlu membuat sensasi agar populer atau dikenal. Ia bisa memikat setiap guru dengan kecerdasannya yang luar biasa dan teman-temannya karena kerendah hatian dan sikap apa adanya. Tidak. Kalau begitu hanya ada satu kemungkinan..

Dia menyukaiku.

***

Sepanjang malam aku berguling-guling di kasur. Arrgghh, masa aku tidak tidur lagi malam ini? Aku bangkit dari kasur dan berjalan ke meja belajarku yang berada di depan jendela. Aku duduk di meja—tenang, aku enteng kok, nggak bakal ambruk mejanya—dan menyibak gorden yang menutup jendela. Kamarku yang gelap menjadi sedikit terang karena lampu dan bulan yang bersinar di langit malam sana. Aku mendongak, melihat bulan.

Felsa.

Aku bilang aku menarik semua kata-kata sinisku tentangnya. Tentang tas hitamnya, roknya yang panjang tanpa dipotong, rambutnya yang diurai, sikap apa adanya. Ya, aku menarik semuanya. Bukan berarti fakta itu tidak benar, fakta tetaplah fakta, tapi aku menarik caraku mengucapkannya. Dilihat-lihat lagi, tas hitamnya cukup unik. Jarang ada cewek SMP mau mengenakan tas hitam polos sepertinya. Yaaah meskipun bukan Minmie atau semacamnya, kebanyakan cewek lebih suka mengenakan warna pink, biru, ungu, hijau, dan lain-lain. Bukankah unik dia berani tampil biasa dengan tas hitamnya yang besar dan berat itu? Roknya juga. Sejujurnya aku kurang suka dengan cewek-cewek yang memendekkan rok sampai pendekkkk banget. Seakan-akan mereka ke sekolah buat pamer paha, bukan belajar. Dan lagi, apa mereka tidak takut pada hal-hal jelek yang mungkin menimpa mereka? Cowok tetaplah manusia, jika digoda keterlaluan bakal tergoda. Bukannya aku tidak senang dengan pemandangan seperti itu, namun sebagai murid aku juga tahu kewajibanku di sekolah. Aku salut padanya yang tidak memendekkan rok. Itu berarti niatnya ke sekolah murni belajar, bukan pamer-pamer diri dan berjalan bak di catwalk. Sikap apa adanya, sikapnya yang menjaga perasaan orang, yang tidak pernah membentak-bentak seperti cewek lain ketika dilabrak, semuanya seakan melengkapi dirinya.

Aku menyukai fakta Felsa tidak berusaha menjadi sama dengan yang lainnya.

Sekarang sudah semester dua, dan sebentar lagi kami ujian akhir. Aku mendesah memikirkan kemungkinan kami tidak sekelas lagi. Banyak yang terjadi setelah insiden ulangan geografi itu—kami dijuluki ‘ViSa Couple’ oleh anak-anak sekelas—Vic dan Felsa, ketika kelas kami bermain game geografi—kayaknya aku harus membuang rasa sebalku pada pelajaran satu ini, bagaimana pun geo berhasil menegaskan perasaanku—yang mencari pasangan yang mempunyai jawaban sesuai pertanyaanmu, sekelas bersorak ketika jawabannya ada di aku—meskipun ternyata jawaban itu salah, dan aku dianggap cari kesempatan, kulempar tanggung jawab padanya seakan dialah yang mengajakku maju ke depan kelas untuk membacakan jawaban—iya deh, aku memang nggak bertanggung jawab banget, tapi sungguh, waktu itu aku nggak tahu ternyata jawabanku salah. Sejak saat itu aku dihantui untuk minta maaf padanya lho. Belum lagi sewaktu aku diam-diam ngestalk Twitter-nya melalui akun kakak perempuanku—aku tertawa guling-guling melihat Erin dan Meg memakai hastag #IamTeamViSa di setiap twit mereka, Erin bahkan mengarang-ngarang hal-hal yang tidak pernah terjadi di antara kami, meskipun beberapa ada yang benar dan aku harap benar. Selain itu kami juga sering sekelompok, atau kalaupun tidak duduk kami berdekatan—yang membuatku yakin akan perasaanku padanya.

Aku tidak tahu bagaimana perasaannya padaku. Aku harap dia juga merasakan perasaan yang sama denganku. Bukan berarti aku pingin buru-buru pacaran atau semacamnya juga, aku hanya ingin tahu apakah perasaanku terbalas atau tidak. Karena nyatanya setiap kali kami dijodoh-jodohkan, dia menelan senyum malu aku-nggak-suka-kok-nya yang membuatku bertanya-tanya. Apa dia hanya memanfaatkan momen atau memang dia serius? Tidak terasa semakin lama kepalaku terasa semakin berat.

Aku tertidur dengan kepala bersandar di jendela yang memantulkan sinar bulan yang lembut malam itu.

***

Satu bulan kemudian.

YAAAYYYYY!

Yaaaaak teman-temannnnn, ujian sudah berakhirrrr!!! Aaah sekarang aku bisa sedikit relaks mengingat sehabis ujian-ujian itu sudah tidak ada tes atau peer yang berarti lagi. Aduh leganya! Itu berarti aku bisa melihat (calon) cewekku di masa depan juga he he. Aku senang melihatnya lebih ceria sekarang. Mungkin karena ujian-ujian itu membebaninya? Ternyata murid teladan juga bisa stres mengenai ujian. Eh tunggu, bukannya mereka yang paling stres tentang ujian, peer, atau tugas? Oh, sori aku lupa.

“Apaan nih?” aku memprotes melihat Ipe menyeretku ke pojok kelas. Yap, saat ini party class, yang berarti makan-makan sekelas memakai uang kas kelas. Dan tebak, karena uang kas naik dan sumbangan dari anak-anak baik hati yang kena denda karena berkata-kata kotor plus menghina nama bapak, uang kas kelasku jadi dua juta lebih! Wohooooo! Sekarang beberapa tumpuk piza yang berada di kardus bertumpuk rapi di meja depan kelas, membuatku tidak sabar mencicipinya. Terang saja, aku sedang lapar banget! Bendahara kelas memesan ukuran small, tapi tidak kecil-kecil amat kok piza-nya. Satu box piza dimakan dua orang. Aku yakin banget sekarang Ipe menyeretku untuk diajak berkomplot cara memakan piza lebih dari satu box. Dasar rakus. “Vic,” katanya sambil tolah-toleh ke belakang, memastikan tidak ada yang mencuri dengar, “mau kukasih tau satu rahasia?”

Rahasia? “Rahasia apa?” tanyaku heran. Apa masih ada rahasia di antara kami sejak kami adalah teman baik? Ipe nyengir. “Kau nggak percaya? Oo ******!”

Idiotttttttttt!! Aku mendelik menatapnya. Bagaimana dia bisa tahu nama papaku? Padahal selama ini rapor yang ditandatangani papa selalu kusimpan baik-baik supaya tidak diintip oleh orang-orang tidak bertanggung jawab. “Bukan masalah besar,” katanya sambil lalu, seakan nama papaku sudah diketahuinya berabad-abad lalu, “nyari tau nama papa seorang yang ketiduran dengan rapor di pangkuannya.”

Damn! Apa benar aku pernah lengah? Huh, kayaknya aku harus lebih hati-hati mulai sekarang! “Udahlah, asal nggak kasih tau siapa-siapa aja nggak apa-apa.” sahutku membuat persetujuan. Ipe mengibaskan tangan. “Nggak bakal kok, kita kan temen baik.” Lalu ia menyeringai, menambahkan, “Kecuali kalau lagi kepepet.”

Aku mendelik, membuatnya tertawa singkat. Lalu ia mendekat ke telinga kiriku, dan berbisik, “Vic, percaya nggak kalo Felsa naksir kon?”

“Bercanda kon Pe!” potongku cepat. Yap, karena kami sesama teman dan cowok—dan karena kami tidak berusaha berlembut-lembut pada satu sama lain, kami memakai bahasa gaul Surabaya. Anyway, aku tidak ingin Ipe tahu suasana hatiku yang riuh rendah mendengar bisikan barusan. Ipe melengos. “Kayak aku nggak bakal tahu kamu lagi berbunga-bunga aja. Seneng kan?” katanya dibarengi tawa tengil. Matanya bersinar usil. Inilah yang membuat aku senang berteman dengannya. Ipe sangat ekspresif, dan jujur. Rasa-rasanya aku tidak sabar menunggu giliran ia naksir seseorang, biar tahu rasa si Ipe jaim di depan cewek pujaannya. Supaya tengilnya hilang sedikit. Eh jangan ding, nanti kalau hilang, bukan Ipe namanya. Aku menerima Ipe apa adanya, karena aku menyukai dirinya yang sebenarnya, bukan Ipe yang jaim.

“Serius nih.. kon tau darimana?” bisikku hati-hati. Kurasa tidak ada gunanya jaim ataupun menutupi perasaanku yang sebenarnya di hadapan Ipe. Meskipun kami para cowok tidak pernah menggosip atau membicarakan perasaan kami, kami bisa mengerti dengan hanya sekali pandang. Nggak kayak para cewek yang bingung-bingung soal perasaannya, sampai-sampai membuat satu tulisan dengan tema cinta. “Dari..” aku mengikuti pandangan Ipe, yang jatuh di.. geng Felsa. Mereka sedang asik foto-foto dengan piza. “Eh, serius?” kataku kaget. Maksudku, mereka kan teman baik. Jadi kalau ada rahasia, seharusnya mereka jaga baik-baik dong, bukan malah diumbar seenak jidat. Beruntung yang mereka beritahu adalah cowok kayak Ipe, yang meskipun out display-nya nggak jelas tapi masih bisa pegang rahasia. Kalau sampai orang lain?!

“Tenang, Vic, nggak usah emosi bro,” kata Ipe sambil menepuk sebelah pundakku, “mereka cerita karena mereka kasihan padamu yang selalu memerhatikan Felsa dari jauh. Mereka cuma nggak pingin kon merasa bertepuk sebelah tangan kok.”

Aku tercengang mendengarnya. Ya, aku nggak menangkap maksud mereka karena mereka bertindak dengan kacamata cewek. Sedangkan aku cowok, aku menganggap semua rahasia harus disimpan tanpa memikirkan efeknya. Diam-diam aku terharu dengan sikap teman-teman dekat Felsa. Mereka membantuku? Mungkin. Mungkin mereka kasihan denganku. Atau.. ini yang paling mustahil: mereka terharu atas perhatianku pada sahabat mereka.

Dadaku terasa sesak oleh rasa bahagia yang tiba-tiba menyerang. Aku senang, senang sekali karena perasaanku terbalas. Yeah! “Trims, Pe, udah ngomong.” kataku pada Ipe yang mengangguk sambil tersenyum manis. Heran, jarang-jarang Ipe tersenyum begini. Tawa tengil dan nyengir lebih sering digunakannya. Coba kalau Ipe mau sering-sering tersenyum begini, aku yakin salah satu dari jutaan cewek di dunia ini bakal jatuh hati padanya.

Kuperhatikan geng Sica yang mulai memakan piza. Mereka terlihat bahagia. Ya, yang lain pun juga bahagia bersama geng masing-masing. Aku tahu kelas 71 ini akan selalu menyimpan kenangan bagi masing-masing kami. Aku membiarkan mataku mengamati Felsa yang sedang makan piza sambil kadang tertawa dengan teman-temannya.

Aku bahagia akhirnya aku tahu perasaannya padaku.

Kuharap kami bisa sekelas nantinya.

***

Empat setengah minggu kemudian

“Yo, Pe!” Aku ber-tos ria dengan Ipe yang sudah datang duluan untuk melihat kelas. Yap, liburan yang damai sudah berakhir. Dan hari Sabtu ini kami masuk untuk melihat kelas. Pengumuman ditempel di kelas sebelumnya masing-masing. Maksudku kalau naik kelas 9 ya lihat di kelas 8 masing-masing, begitu pula kelas 7. Bisa kulihat sudah banyak anak yang datang dan bercengkerama karena lama tidak bertemu. Jantungku berdebar lebih cepat melihat dia sudah datang. Ah, sebaiknya aku melihat kelas dulu deh.

Aku berdiri di depan pintu kelas yang tertutup karena dikunci. Di pintu kelas itu terdapat selembar kertas yang berisi nama-nama kami dan kelas 8 masing-masing anak. Aku mencari-cari.. oh ini dia! Kelas.. 84. Tiba-tiba aku pingin tahu kelas Felsa. Dengan gerakan cepat dan lalu, kucari namanya. Dapat! Dan.. oh! Aku mendelik.

“Kita emang nggak sekelas, bro. Tapi nggak usah sampe mendelik-mendelik gitu juga kaleee,” goda Ipe, menepuk ringan pundakku. Aku sadar kembali. “Pe.. aku..” aku tergagap-gagap menyampaikan maksudku. Mata Ipe bersinar-sinar jail. “I knows. Good luck.” bisiknya dengan bahasa Inggris yang ancur.

Kami sekelas Pe!!! Ingin kuteriakkan kata-kata itu, tapi Ipe keburu ngobrol dengan Erial. Aku menggigit bibir bawahku untuk menahan senyum lebar yang siap terbentuk. Kami sekelas! Sekelas! Jadi pingin nari Kecak buat merayakan ke-sekelas-an ini. Tapi berhubung nggak pernah belajar dan nggak bisa, akhirnya aku diam saja. Tapi aku tahu, akan banyak waktu yang tersedia untukku nantinya untuk lebih dekat dengan Felsa. Wohooooo!!

Go Visa, Go Visa, Go!

***

“Aku pilih truth kali ini. Capek bener aku dikerjain Dick dare ke orang yang sama mulu.”

“Santai, Fel.. kita kan temen baik, jadi nggak mungkin kami tega begituin kamu.”

“Iyaaaa aku percaya kok. Siapa yang mau nanyain? Halah nggak usah tukar pandangan gitu ah, kayak di novel-novel aja!”

“Yosh oke. Sica yang nanyain.”

“Oke, Sic, aku udah siap lahir batin kok.”

“Nggak lagi lebaran Fel. Oke, gini pertanyaannya.. kamu naksir Vic nggak?”

“Jujur ya Fel, ini kan dare! He he he,”

“Iya deh Er aku jujur. Mmmm..”

“Dari nadanya kayaknya kita bakal dapet pajak jadian nih. Muahahaha,”

“Ngawur kamu Meg. Gini, ya, kuberitau.”

“Iya iya, cepetan dikit dong Fel! Abis ini istirahat selesai nih!”

“Sabar dong Er. Mmm.. ini rahasia, ya. Gini, aku emang pernah, digarisbawahi ya tolong, pernah naksir. Tapi cuma seperempat detik doang kok, nggak lebih.”

“Ecieeeeee~”

“Heh, Fel, mana ada seperempat detik? Aku baru tau seperempat detik ternyata ada.”

“Ada dong, Sic. Pokoknya gitu deh.”

“Ah kita nggak percaya!”

“Ya udah kalo nggak percaya, yang penting aku udah ngomong jujur weeee~”

“Tenang aja Vis

“Kok Vis? Namaku Felsa kali.”

“Yaaa pake couple name-mu lah. Visa gitu. Eits, jangan protes. Kami tau kok kamu masih suka sama Vic—“

Aku bilang enggaaaaaakkkkkk!”

“Kami yakin kamu masih suka Vic. Jadi tunggu aja, kami bakal cari bukti ViSa itu eksis. Tunggu tanggal mainnya, Vis!”

Hey hey readers! Thank u for reading ya. Kali ini aku ngepost yang agak beda deh he he. Kebetulan ide lagi stuck buat yg lainnya. Eh, anyway, aku pake hidden message lho di ceritanya! Apa bisa terlihat tandanya? Yap, aku bold! Sayang ya disini ukuran tulisan nggak bisa digedein dikit kayak di Word (atau emang aku yg nggak ngerti? Okelah). Kalo nggak bisa kebaca.. yah komen aja deh buat nanya. Jangan gara2 males nyari lho tapi! He he.. aku seneng bisa ngebuat cerita ini. Ini adalah.. cerita perjalanan cinta salah satu author disini lhooo! Tulisan (1/4) di judulnya adalah tanda bahwa aku bakal membuat 4 cerita berdasarkan perjalanan cinta masing2 author! So, stay tune ya. Dan, mmm, ini fiksi semata ya, hiburan aja lho. Nama-namanya juga nggak asli kok, nyerempet-nyerempet aja, he he. Tapi tentang ViSa, dan #IAmTeamViSa itu beneran lho! Ada yang mau bantu buat #IAmTeamViSa jd TTWW? Nope, thanks, aku udah tobat cyiiin (tobat tapi masih nulis cerita abstrak). Ya udah deh segini dulu. Like and comment maybe? Thank u a whole heart! And.. sorry not sorry for the target and victim on this story! ;P

love always,

Green

4 thoughts on “Stories You SHOULDN’T Read (1/4)

  1. Bzz ada yang merasa tersindir Green
    Asik deh plesetan namanya XDD Haha
    Tapi satu hal, ini fitnah coy~
    Selanjutnya siapa nih yang bikin? Kamu ato gimana Green?
    Kal boleh sih aku mau coba MaRial, tapi sayangnya ingetanku……………….. akh
    Soal hidden messagenya.. itallstaredwhadar? Pertama pas belum kelar aku ngiranya “It all stared at me” Haha
    Maksudnya apa Green?

    • Thanks 4 reading n comment visaaaa :*** lega deh km baca, soalnya cerita ini buat kamu terkhusus 😉
      Hidden message nya.. sbnernya ‘it all started with a dare’ vis. Iyaaaa ini fiksi semata kok, hiburan aja. But no need worry if u two r real kok ViSa couple 😀
      Selanjutnya? Udah aku singgung kok di atas yg affair2 gitu HEhehehehehe. So, stay tune ya Cheve! ;p

Leave a comment