Eyes On Me

Eyes On Me ✧

Eye_To_Eye_by_muchlikefalling

PG-Teen | Romance, Humor, Friendship | Chaptered

“Yey! Aku menang lagi!” seru Karen yang biasa dijuluki si ratu game. Lelaki di dekatnya menggeleng pasrah. “Iya, iya, kamu emang dewa abis.” Lelaki itu meratapi kartu reminya, nyaris saja ia membuat full house. “Tumben kamu ngaku, Ron,” canda Karen. Lelaki yang dipanggil Ron alias Evarone itu mendengus. Seperti sebelumnya, Ron lagi-lagi kalah dari Karen. Ia merutuki nasibnya yang memang tak mujur atau Karen yang aslinya anak dewi Fortuna, yang jelas ia sebal! Tak jarang Ron browsing teknik main poker serta game yang lain supaya bisa mengalahkan si ratu game itu. Sia-sialah usahanya. Jika ada yang tak percaya, mari buktikan sendiri. Dari kasti sampai game online, Karen mendominasi daftar kemenangan. Sayangnya otak gadis itu tidak berjalan dengan baik di atas lembaran kertas ulangan.

Ruangan tempat mereka bermain tidak begitu luas, kamar bermain Karen yang diberikan ayahnya setelah Karen melancarkan propaganda sebulan lebih. Di tengah ruangan ada meja cukup panjang dan merupakan meja multi fungsi, sebenarnya juga merupakan papan billiard. Pada sisi kirinya ada komputer usang peninggalan kakak Karen yang menjadi saksi betapa saktinya gadis 17 tahun itu. Sebelahnya persis, arah timur, ada lemari atau bisa dibilang rak tempat Karen menyimpan game berbasis papan, kertas, kartu, dan game ringan serta pelengkap game yang lainnya. Ada juga satu mesin game seperti yang dijumpai di tempat permainan game, dibuat tahun 2005 dan adalah game arcade klasik yang sering dimainkan Karen ketika benar-benar capek atau malas.

Ron melirik Karen yang asik memainkan ponselnya. Huh, mentang-mentang baru, sindirnya dalam hati. Ingin sekali Ron menyenggolkan tangan indahnya ke ponselKaren itu supaya jatuh tergeletak, sudah beberapa bulan ini ponsel itu datang dan langsung melejit, merajai singgasana hati Karen. Dampak terburuk yang menyentil hidup Ron ialah dirinya terabaikan, bukan masalah berat sebenarnya, tapi bisa kamu bayangkan perasaan seorang kawan lama yang dalam tanda kutip menyukainya, diabaikan hanya karena benda kotak dengan ukuran sekitar 6 inchi? Kata ‘jleb’ dan ‘sakit’ pun lewat.

Ini memuakkan, batin Ron. Kayaknya pepatah ‘cowok ganteng pasti laku’ itu cuman bercandaan belaka. Tapi memang benar, sih, pepatah itu ‘kan hanya akal-akalannya Ron. Cowok itu jadi terkikik sendiri. Ditatapnya gadis jelita dengan rambut hitam legam—eh tunggu, hitam kecoklatan sih. Dalam hati Ron memaki-maki warna rambut cewek itu yang gak full hitam, jadinya tak romantis begini. Meski asik dengan dunianya sendiri, kenapa, ya, Karen masih terlihat begitu memukau? Apa jangan-jangan Karen itu malaikat? Yang jelas bagi Ron, Karen memang malaikat. Pembawaan Karen yang cuek membuat cewek itu masih saja asik dengan ponselnya dan tidak peduli pada Ron yang asik memandangi dirinya. Senyum tak hentinya nangkring di wajah Ron. Lucu juga melihat ekspresinya yang agak blo’on saat ini. Ron tidak tau harus gimana lagi supaya bisa menarik perhatian Karen. Menari di depannya? Oh ayolah, konyol sekali. Berpuisi dengan puitis? Yang ada Karen bakal menatapnya dengan aneh lalu tertawa histeris. Memakai alasan bermain pun sudah jamuran.

Beruntunglah anak kesayangan ibunya itu. Ron mendapat ide yang entah darimana datangnya. Syukur-syukur bukan ide gila semacam mengelus manja anjing Pak Parman, tetangga Karen yang super ganteng itu—sebenarnya ia sama sekali menolak mentah-mentah gagasan itu, kalau saja tidak diancam. Pak Parman sudah sejak lama menaruh hati pada ibu Karen yang merupakan single parent. Pria berkumis ala Hitler yang berada di ambang usia 40-an itu benar-benar orang super nyentrik yang suka mengedipkan sebelah matanya tiap ibu Karen pulang dari pasar ataupun menuju rumah Karen. Ia selalu membawa anjing bulldog kesayangannya kemana-mana, anjing paling ganas dan kejam yang pernah ada—sama kayak pemiliknya kalau berurusan dengan manusia non dewasa. Ron mengusap matanya yang mulai berair karena tertawa membayangkannya. Kemudian ia sadar ada sepasang mata yang menatapnya dengan ‘lo-yakin-lo-baik-baik-saja’. Seketika ia menegaknya duduknya yang awalnya dalam posisi orang cangkru’an dengan kaki di atas meja menjadi gaya duduk tersangka pembunuhan yang sedang diinterogasi, tegak dan rapat. “Ehm,” ia berdehem-dehem meluruskan pita suaranya yang agak melengkung akibat tertawa. Hampir saja ia melempar batu bata milik si bos batu, Pak Nurdin, begitu mendapati dirinya ‘dikacangi’ lagi oleh sepasang kekasih itu, Karen dan ponselnya. “Woi, Ren.”. Karen menaikkan alisnya, isyarat ‘apa’. Ron mendengus sebal. “Aku ada tantangan buat kamu. Tertarik?” Karen mulai merasa tergoda, mendongak menatap Ron. “Kali ini bukan sembarang permainan yang bisa kamu menangin dengan ke-hogi-anmu itu. Judulnya… judulnya love game.”. Karen ber-oh ria. “Kok pasaran banget sih, Ron. Jangan-jangan yang kamu maksud itu tantangan ngegodain sambil nyanyiin lagu dangdut ke si Bobi tukang bakso langganan itu ya?” Karen menatap Ron ngeri. “Jangan negatip tingking dulu dong, say,” balas Ron mengedipkan matanya kayak banci . “Say say, kamu kira aku saimin, gitu? Jijik aku liat kamu kedip-kedip mirip cupang gitu.” Karin memasang ekspresi paling jijik dari ekspresi jijik yang ada—maklum mantan anak layangan alias alay.

Tidak tahu sebabnya, Ron tersenyum-senyum manis sendiri. “Masih normal kamu?” Karen menampar pelan pipi Ron, dibalas pelototan sang empunya. “Permainannya simpel aja, Ren. Kamu tau Jasper kan? Si model ekstra beken itu. ‘Trus si Clint, kutunya KBBI yang katanya berkacamata minus lebih dari 10,” jelas Ron. Karen mengangguk paham, pertanda ‘lanjut’. “Dalam waktu dua minggu, kalau kamu bisa bikin dua cowok itu nembak kamu, aku ada hadiah super duper spesial buat kamu. Tapi jangan pikirin hadiah dulu, pikirkan keasyikkannya, ini bukan sembarang game yang bisa kamu mainin di komputer, ponsel, dan sebagainya, ‘kan?” Mata Karen memancarkan antusias level akut. “Tentu, you know me so well, Ron.” Yang dipuji tersenyum manis. “Peraturannya cuman dikit, kok. Satu, bermainlah secara sehat. Dua, gak boleh minta bantuan orang lain. Tiga, jangan sampai kamu jual diri segala! Ini yang paling penting,” Karen menghadiahi bocah berambut pendek lurus dengan poni panjang ke arah kiri itu sebuah pelototan ganas,”Untung aja nona ini udah ngerti. Gimana? Mau ikut?” Karen menatap langit-langit kamarnya. “Hmm…. Boleh, deh. Mulainya kapan?” Ron menjentikkan jarinya. “Udah kuduga kamu pasti ikut. Mulai lusa. Persiapkan dirimu, nona! Aku permisi dulu, Pussy belum kukasih makan, tuh.” Akhir Ron dengan cengiran di ujung ucapannya.

***

Aura lorong SMA Cita Harapan yang awalnya suram ini mendadak heboh. Bukan jumpa fans, bukan bagi sembako, cuman pangerannya SMA CH, Jasper Westie, yang lagi lewat. Dia memang tidak berjalan bak pemeran baju di fashion show, atau berjalan sambil tebar flying kiss, sih, tapi memang paras tampannya itu keterlaluan banget. Lelaki itu punya rahang dan tulang pipi yang tidak begitu menonjol, dua buah lesung pipit yang menghiasi pipi cokelat mudanya,  mata ukuran sedang dengan bulumata lentik dan manik mata keabuan, hidung yang tidak terlalu mancung, tetapi juga tidak pesek, dan juga bibir tebal merah jambunya. Saking famousnya manusia ini, perkumpulan penggemarnya menciptakan nama untuk klub mereka, Gasperian—yang berasal dari kata ‘gasp’ yang menunjukkan kekagetan, ditambahkan kata ‘per’ sehingga terdengar seperti nama lelaki belia itu. Uniknya lagi, Gasperian juga menjadi nama klub ekstrakulikuler resmi di SMA CH itu. Jangan berpikiran lebay karena fakta di atas, Jasper orangnya rendah hati, rajin, tidak sombong, dan sejenisnya kok. Maka dari itu, makin sempurna aja makhluk ciptaan Tuhan ini.

Cewek ini dari tadi celingak-celinguk di antara kerumunan cewek setengah kesurupan yang lain.Ia jarang juga melihat seorang Jasper dari dekat, boro-boro dari dekat, liat mukanya yang asli aja belum. Jengkel juga, sih, melihat tingkah lebay nan ababil segerombolan remaja ini. Sebelum melanjutkan pikirannya, sebuah tangan kuat mendorongnya menerobos kerumunan penuh sesak ini… dan jatuh ala tuan putri di hadapan Jasper. Okay, jatuh dengan pose berlutut, kedua tangan memapah tubuh, dan kepala tertunduk memang kurang sip dilihat. Ralat. Ini memalukan banget, jerit Karen dalam hati. Ia melirik ke atas dan mendapati ada sebuah telapak tangan kokoh yang terulur ke arahnya. Dari kulit mulus kecoklatannya, udah ketahuan kalau itu tangannya Jasper. Jujur aja, Karen jadi makin salah tingkah.

Ia meraih tangan itu dan bangkit berdiri. “Trims, Jas,” ucapnya sambil menepuk-nepuk roknya supaya tidak kotor. Japser tersenyum manis, seketika itu juga hati Karen meleleh. “Ehm.. Ternyata kamu ganteng—eh, aku permisi dulu, ya.” Karen berjalan cepat layaknya setan menjauhi Jasper. Cewek itu menyumpahi dirinya sendiri yang memang blak-blakan itu. Menyebalkan juga punya sifat seperti itu, tapi apa boleh buat lagi. Ia tidak tahu dan tidak peduli pada Jasper yang sekarang ini tertawa kecil akibat ulahnya yang sebenarnya gak konyol-konyol amat, tapi agak memalukan.

Sosok santai Ron yang lagi nongkrong di kantin langsung di interupsi suara –setengah-cemprengnya Karen. “Eh itu pasti kamu tadi yang dorong aku, ‘kan? Ngaku! Awas ya, aku kulitin ayam peliharaanmu sampe nangis mohon-mohon. Ogah deh aku temenan sama kamu. Nyebelin! Tau gak? Hh!” baru datang, Karen langsung menyemburkan kekesalannya pada tertuduh Ron. “Ngomong apaan sih? Dorong? Iya emang aku, gak sengaja kesenggol soalnya tadi sempit banget.” Karen menatap Ron penuh selidik. “Gak usah alesan, aku udah kenal kamu dari waktu tali plasentaku belum dipotong, kali,”cerocos cewek itu. Ron terkikik geli. “Wah berarti dulu kamu ngintipin aku di dari kecil, ya?” ujarnya sambil tersenyum nakal. Karen menatap horror ke arah Ron. “Udah, ah. Jelas-jelas tadi tangan kamu yang dorong aku. Bikin malu aja.” Karen mendengus sebal. “Ya, untung kamu punya temen baik kayak aku. Aku tadi itu nolongin kamu supaya bisa pdkt sama Jasper dengan lancar, non.” Karen mengibas-kibasi wajahnya yang panas karena amarah. “Sok ikut campur deh. Udah mending diam aja. Ini ‘kan urusanku. Kamu justru bikin aku malu, tauk! Gara-gara kamu aku diketawain semua anak!” Karen memandang penuh dendam. “Oh, gitu, ya udah. Aku-gak-bakal-bantuin-kamu-lagi, titik,” tegas Ron lalu melenggang pergi. Oh tidak, Karen. Apa yang sudah kamu perbuat, pikir Karen mendadak panik.

“Uh, oh, nyesal aku bercing-cong seperti tadi. Aku pendosa berat,” rutuk Karen. Ia menendang kaleng yang tergeletak di kantin. Duk. Ia menoleh ke bunyi suara lalu mendapati sebuah kaleng terpental dari kepala cowok yang wajahnya super sadis. Itu ‘kan kaleng ‘hadiah’ dari Karen. Makin tamatlah riwayat gadis ini. “Mmaaff,” cicit Karen begitu ia mendekati sang korban. Selanjutnya ia makin ketakutan begitu melihat tatapan tajam dari cowok berkacamata tebal dengan kaca lensa berkilauan itu. G-A-W-A-T, Karen sudah lebih dari panik, apalagi ketika melihat tangan cowok itu terangkat ke udara yang anehnya tampak slow motion di matanya.

***

Note:

Haiiiii! Tumben ya aku post cepet. Hehe ^^
Apa sih yang gak buat readers tercinta?
Kali ini aku berniat bikin cerita ber-chapter yang semoga gak mengecewakan seperti Behind yang kandas ditengah jalan (untungnya ada Green yang baik hati *kiss*)
Jangan lupa kritik dan saran ya, biar bisa membangun aku jadi lebih baik lagi 😀

xoxo,

Orange ♥

2 thoughts on “Eyes On Me

  1. Haii Orangeeee 😀
    Wah ga nyangka ini chapter an, biasanya kan one shoot hehe. Penasarann deh. Kayaknya cinta antar temen hehe. Anddd ketauan bgt Orange smpe searching2 google demi poker :p Moga2 cpt update yaaa Orrr, penasaran nih ; )
    N.b: thank u pujiannya “Green yg baik hati”, mestinya bkn cm baik hati sih, tp imut lucu sopan tidak sombong, rajin menabung.. banyak deh! Hoho ;D

    • Wah Green ini emang narsisnya kumatan ._.
      Yaudah iyain aja deh XDD
      Aduh kamu kok bisa tau sih aku pake searching ._. Benernya Full House itu yang paling pasaran, trus aku cari dan semper tertarik sama flush apa gitu tapi ujungannya Full House juga cc:
      Silahkan disimpan penasarannya Green~

Leave a comment