I Got You

“Santai. Aku bukan Barbie yang akan cacat kalau disenggol kok.”

Tujuh Belas

      Kok dia bisa disini sih?

David bisa melihat John melihatnya dengan pandangan bingung juga. Jangan bilang dia pikir aku yang mengundang orang ini, pikirnya jengkel. David menoleh ke John dan memberi isyarat aku-harus-menangani-orang-itu-dulu. John mengangkat bahu sebagai jawaban dan berjalan menjauh. Hmmm. Apa pria itu perlu dibawa ke tempat sepi saja? Biar nggak ada yang curiga. Tapi kayaknya nggak usah. Kru masih sibuk dan nggak akan ada yang repot-repot memperhatikannya. David berdeham sebelum berjalan mendekati pria yang masih tersenyum padanya.

“Hai, lama nggak bertemu, ya,” sapa orang itu. David berdiri di samping pria itu, namun tidak melihat padanya. “Yah. Mudah sih melupakan orang yang datang padamu kalau perlunya saja,” balasnya sinis. “Well, maaf kalau akhir-akhir ini aku mengesalkan,” pria itu mengangkat bahu, menekankan bahwa yang itu bukan masalah besar, “Aku cuma sebentar kok, tenang aja.” David akhirnya menatap pria lawan bicaranya sambil tersenyum meremehkan. “Wah. Padahal ini kunjungan terlamamu lho. Dan menurutmu ini sebentar, ya?” sindirnya. Pria lawan bicaranya tidak menanggapi, ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan sesuatu dalam genggamannya. Ia mengangkat genggamannya itu di depan wajah David. “Barang yang selalu kau inginkan.”

      David terdiam ketika melihat untaian kalung terpampang di depan wajahnya. “Kau tidak terkejut, ya? Yah, kuakui. Ini lelucon basi sih memang,” pria itu mendesah. Lalu tanpa disangka, ia melepaskan kalung itu dari gengamannya. David berusaha tidak melihat kalung yang sekarang sudah berada di atas tanah tersebut. “Karena kau tidak menampakkan ekspresi apa-apa.. jadi kurasa kalung itu sudah tidak berarti lagi untukmu, ya kan?” kata pria itu menantang.

      “Ambil,” ujar David perlahan tapi jelas dan tanpa senyum. Pria itu memasang ekspresi bodoh, “Apa? Aku tidak bisa mendengarnya. Kau tau kan, disini ramai dan..” David mengeraskan rahang, “Ambil barang yang kau jatuhkan. Kau seorang pria, bukan? Setidaknya begitulah menurutmu. Jadi kalau kau mau dianggap sebagai pria, bertindaklah sebagai pria. Jangan lari dari tanggung jawab.”

      “Wah, kau sudah bertumbuh besar rupanya, buddy!” David tidak bergeming ketika pria itu menonjok lengannya ceria. “Oke, oke, kuambil nih,” pria itu mengambil kalung yang dijatuhkannya tadi, lalu meraih tangan kiri David dan meletakkan kalung itu di atas telapak tangannya, lalu menutupnya. “Kalau barang ini masih memiliki arti bagimu, kenapa kau nggak langsung mengambilnya dariku tadi? Aduh, jangan bilang karena aku yang memberi,” pria itu tertawa ringan, “David, alasan itu sudah lama sekali. Jadi kau nggak perlu gengsi untuk menerima apapun yang menurutmu berharga yang konotasinya pemberianku. Well, aku yakin kau bahagia sekarang,” pria itu memasukkan kedua tangan di saku celananya lalu berjalan pergi.

Baru beberapa langkah, pria itu menoleh. “Setidaknya kalau kau tidak bahagia, berpura-puralah. Kau seorang aktor, kan? Setidaknya begitulah menurutmu. Kau seorang aktor, bertindaklah sebagai aktor. Jangan lari dari tanggung jawab.” Pria itu tersenyum miring lalu kembali berjalan.

“Heh? Mana temanmu itu?”

     “Heh, dia temanmu juga, tau,” jawab John, menguap. Greg memutar mata. John paling nggak bisa diajak bercanda. “Serius. Mana dia?” tanyanya lagi. John menengok kanan kiri, membuat Greg menghela napas tidak sabar. “Apa kau berencana bilang David hamil dan nggak boleh diketahui siapapun?” tukas Greg sebal. John menatapnya. “Yang pasti bukan aku ayah anaknya,” ujarnya sungguh-sungguh.

“John, nggak heran kau nggak pernah punya pacar,” dengus Greg. John menyedot jus kotaknya keras-keras. “Anggap aja aku nggak pernah mendengar itu..” ia bersenandung sambil melihat-lihat jalanan. Ia melihat arlojinya dan mengangkat alis. “Jam 2? Well, nggak terlalu berat,” gumamnya. Saat itu Greg meraih iPhone dari saku jins karena benda itu berbunyi. “Ya?” katanya di telepon. Ia melirik John sejenak, lalu berkata, “Tadi sih. Sekarang aku nggak tau lagi. Siapa sih ini?” John mengerutkan kening. Bego amat si Greg! Nggak tahu siapa yang menelepon dijawab mulu. Tanpa terasa ia menguap lagi.

“Ah! Kau! Ngapain nelpon kesini?” dari nada Greg ada pencampuran kaget dan jengkel. “Oh. Terus, ada perlu apa sebenarnya kau dengannya?” kata Greg lagi, kali ini nadanya enggan tapi penasaran. John berusaha menguping, tapi suara dari telepon Greg tidak bisa terdengar. Huh, bikin penasaran aja. John mengangkat sebelah alis waktu Greg melotot, “Mustahil! Nggak mungkin! Kau nyogok pasti!” temannya itu berseru kaget. “Ya,” Greg berkata masam kemudian, “Dan trims juga sudah membuatku nyaris terkena serangan jantung mendengar kabar baikmu itu. Sampai kapan-kapan.”

      “Siapa?” tuding John langsung setelah Greg memutus sambungan teleponnya. Greg mengambil napas dalam-dalam, “Itu Tya. Tadi katanya ia mau menelpon David, tapi nggak bisa karena nggak aktif. Lalu ia mencoba menelpon ke nomor lain yang pacarnya beri padanya itu. Dan ternyata itu nomorku. Dan tebak kenapa? Hei John, aku merasa hina sekali sekarang. Dia berhasil masuk Harvard! Ya Tuhan, kenapa aku bodoh sekali, sih?” John meringis mendengar pertanyaan sederhananya dijawab panjang lebar oleh orang yang berwajah masam dan jengkel di hadapannya ini. Untung sekarang para kru sudah banyak yang pulang, jadi tidak banyak orang yang melihat Greg yang mengasihani diri sendiri. Eh? John baru nyadar. Tya lulus Harvard? Kok bisa? Kalau Cheve baru masuk berarti pendaftaran sudah ditutup, bukan begitu? Setahu John, sih, begitu. Dan kayaknya nggak mungkin universitas sekaliber Harvard sering-sering membuka pendaftaran mahasiswa baru.

“Sudah kubilang dia pasti nyogok,” ujar Greg dengan nada iri yang kental. Hmmm. Iya, ya, hebat juga Tya bisa lolos ke perguruan tinggi yang mahal dan hanya menampung orang berotak saja. “Hei. Belum datang busnya?” David menyapa, lalu menguap. Heran. Padahal anak ini yang paling sering tidur tadi, batin John. “Eh, Dave. Kau kemana aja? Benar kau hamil?” serbu Greg. David langsung hilang selera menguapnya. “Kau yang benar aja dong! Begini-begini aku masih menikmati jadi cowok, tau,” gerutu David. “Iya. Kau yang benar aja dong, Greg! Masa cowok jantan begini kau bilang hamil,” ulang John. “Yah, kan kau nggak bilang apa-apa lagi setelah itu, John. Jadi ya kupikir benar aja tebakanku,” kilah Greg. John menguap untuk kesekian kalinya.“Fine. Intinya kita mesti nunggu bus lebih lama lagi?” Ia mulai mengeluh. “Ya pikirkan saja itu sendiri, penelpon-yang-menelpon-seenaknya,” sindir Greg. David menghela napas.

Tadi sore, John sengaja menelpon sopir yang bertugas menyetirkan bus mini mereka—yang nomornya ia peroleh dari seorang kru—dan memberitahunya pulang nanti mereka tidak perlu dijemput karena rencananya mereka bertiga bakal makan dulu sebelum pulang di sebuah restoran makanan Cina dekat apartemen mereka yang tidak terlalu jauh. Mungkin sekitar 10 menit berjalan kaki dari sini. Tapi semua kacau ketika syuting yang seharusnya hanya sampai jam 9 malam dilanjut terus sampai jam 2 dini hari. Apalagi musim September ini mulai dingin. Yah, tidak sedingin bulan Desember atau Januari, sih, tapi tetap saja tidak sehangat bulan Juni dan Juli. Akhirnya disinilah mereka, menunggu bus umum yang akan lewat tiap setengah jam. “Cepat telpon orang itu lagi, bilang rencana berubah,” usul Greg setelah Alfred mengumumkan syuting akan dilanjutkan sampai scene selanjutnya. John menggeleng sedih. “Tidak bisa. Rentalnya melayani hanya sampai jam setengah 10, dan pasti nggak enak kalau aku harus menelpon sopirnya langsung. Siapa tahu dia sekarang sedang makan malam dengan keluarganya, lalu anak perempuannya mengumumkan dia diterima di college terkenal.. Bayangkan, masa aku harus merusaknya?”

      Banyak kru yang menawarkan mengantar mereka, tapi ditolak dengan halus. Bukannya kenapa-kenapa, David dan Greg hanya sebal dengan ulah John yang tanpa pemikiran—meski cowok itu dengan sewot membantah ia juga berpikir sebelum menelpon sopir mereka. Kalau John, sih, ya mau-mau saja. Ketimbang menunggu bus umum di tengah malam yang dingin? Sialnya, David dan Greg sudah menolak duluan dengan senyum aku-rela-menunggu-ketimbang-merepotkan yang membuat para cewek luluh lantak dan pergi dengan wajah memerah karena diberi senyum begitu. Hmmm, andai aku juga punya senyum seperti itu, pasti setidaknya mereka juga memperhatikan pendapatku, batin John tidak sadar.

“Ah, malam-malam begini jadi lapar,” John meringis. “Ya sudah, makan saja rasa ‘nggak enak’mu,” balas Greg cuek menanggapi keluhan John tadi. David tersenyum. “Malam ini romantis. Gelap, dingin, bintang-bintang di langit..” gumamnya mendongak, memperhatikan langit malam kota Boston yang sepi. John dan Greg kompak berdeham-deham. “Aduh, jadi mengingatkanku pada seseorang,” ledek Greg. John mendesah. “Kala melihat bintang-bintang yang bersinar, aku bertanya-tanya dalam hati.. bagaimanakah dia sekarang? Dimanakah dia, oh pujaan hatiku? Sepi sekali malam yang dingin ini tanpamu..” John geleng-geleng dengan wajah sedih pengin ngakak. Greg malah sudah ketawa mendengar syair John yang melankolis itu. David ikut tertawa juga. “Hei, aku nggak bercanda, tau. Aku sering menonton serial TV dan para cewek sering mengatakan hal-hal semacam itu,” ujar David membela diri. John mengibaskan tangan. “Haah, itu sih penulis naskahnya aja yang sama semua! Mana ada coba cewek yang sendirian di tempat sepi di malam hari sempat melihat langit dan ngoceh sendiri tentang gituan? Berani bertaruh denganku, mereka pasti lebih memikirkan cara untuk pulang cepat-cepat daripada merenung di jalanan,” cibir John.

“Hei, mereka nggak sendirian!” protes Greg, “Biasanya mereka berdua bareng teman kencannya. Jadi yah, nggak heranlah mereka betah, ada pasangannya sih. Masa kau nggak mengerti sih, John?” John jadi kikuk karena omongan Greg benar juga. “Yaa, maksudku juga gitu! Pokoknya begitu deh,” tanggapnya kikuk. Jelas saja dia nggak tahu, John kan jarang menonton acara TV romance macam Gossip Girl, Pretty Little Liars, atau The Vampire Diaries. Baginya cerita drama ataupun romance selalu berbelit-belit dan nggak ada intinya. Urusan perasaan aja kok sampai 5 season lebih? Kan aneh. Kalau memang suka, ya bilang saja. Gampang, kan? Kenapa harus memendam rasa? Kenapa harus diceritakan mereka jatuh cinta semasa SD dan kembali bertemu sewaktu kerja dan ternyata mereka sudah berkeluarga? John lebih sering menguap ketimbang merasa tersentuh kalau melihat drama.

”Eh, memangnya bus masih beroperasi sampai jam segini?” tanya David ragu. John menggumam. “Iya. Ini kan Boston, bukan New York yang tidak pernah tidur,” sambung Greg. “John, kau benar nggak sesat kali ini?” tanya David curiga. Curiga ini aksi balas dendam cowok itu karena didahului tiap kali akan menyetujui tawaran untuk menumpang. “Yah.. menurutku sih,” jawab John dengan suara kecil. David dan Greg serempak mengeluh mendengar jawaban yang tidak bisa dipertanggungjawabkan itu. “Kenapa kita mesti berteman dengan orang kayak begini sih,” keluh David. Greg mengiyakan, “Kayaknya kita salah pilih teman,” keluhnya menanggapi. John menghela napas. “Iya deh, maaf!” katanya tidak tulus. “Ada nggak sih orang di dunia ini yang berbaik hati menawarkan tumpangan buat kita?” Greg berkata keras-keras. “Bukannya kalian berdua akan kompak menolak sambil tersenyum manis?” sindir John, teringat peristiwa tadi. “Kali ini nggak bakal deh,” David menghela napas.

“Kenapa kalian nggak jalan saja?”

      Ketiga cowok yang tadi asyik mengeluh itu menoleh ke sumber suara tadi. Deg! John kaget melihat cewek yang putih, berlipstik merah seperti Taylor Swift, dan berkacamata itu berdiri dekat di sampingnya. Cewek itu tidak menoleh pada mereka, ia tetap melihat lurus ke depan. Cewek ini agak lebih tinggi darinya. Oh, mungkin karena heels hitam yang dipakainya. Ayo, John! Sapalah cewek ini selagi teman-temanmu masih bengong! Itu akan menambah nilaimu sebagai cowok! Ayo John! John menyemangati dirinya sendiri. Ia mengambil napas panjang sebelum berkata,“Ha

      “Masalahnya kami kehilangan kartu nama apartemen kami,” serobot David ditambah senyum yang membuat John langsung hilang harapan. Cewek itu tidak membalas senyum David, melainkan menjawab dengan tajam, “Kalian sangat ceroboh. Bisa-bisanya sendirian di kota seperti ini,” tanggapnya masih melihat ke depan. John tertawa. “Memang apa yang bisa Boston lakukan pada kami sih?” sebenarnya ia tidak bermaksud meremehkan, tapi nada yang terpancar begitu sinis. Cewek itu menoleh untuk pertama kalinya, menatap John tajam, “Anak muda, bukan hanya anak gendut ini, kalian semuanya, menolehlah ke kiri.”

      John heran, tapi tetap dilakukannya perintah cewek tadi. Tapi ia langsung menoleh ke arah cewek tadi setelah mendengar suara aarrghh di sebelah kanannya, tempat cewek itu berdiri. John langsung melotot, dan ia yakin kedua temannya juga. Cewek di sebelahnya memutar pergelangan tangan seorang pemuda dengan tampang mencurigakan. Meskipun wajah pemuda itu sudah kesakitan, wajah cewek itu tetap datar, seakan ia hanya menginjak semut yang sudah sekarat. “Hei jangan! Kamu bisa mematahkan pergelangan tanganku!” raung pemuda itu. “Lebih baik nggak punya tangan daripada mencuri, ingat?” balas cewek itu dengan suara datar. Kelihatannya cewek itu benar-benar datar dalam segala hal. Kecuali dadanya sih, pikir John tanpa sengaja.

“Iya! Mulai sekarang aku nggak akan mencuri lagi!” raung pemuda itu lagi. Cewek itu melepaskan pergelangan tangan cowok itu dan bergumam, “Itu omong kosong. Tapi okelah, anggap aja aku orang bodoh.” Pemuda itu hanya perlu sedikit waktu untuk memulihkan rasa sakit di tangannya. Tanpa diduga-duga ia mengepalkan tangan, menyarangkan tinju ke cewek yang baru menginjak-injak harga dirinya. John terlalu kaget untuk melindungi cewek di sebelahnya, tapi tahu-tahu ada David yang menahan tinju cowok itu.

“Benar-benar banci. Beraninya sama cewek, ya?” ejeknya. Ia memiting pemuda itu dan mengunci kedua lengannya di belakang tubuhnya. Greg menghampiri cewek berlipstik-ala-Taylor itu, “Anda tidak apa-apa, Miss?” tanyanya sopan. Cewek itu tersenyum sekilas. “Santai. Aku bukan Barbie yang akan cacat kalau disenggol kok,” jawabnya. “Lega Anda tidak apa-apa,” ujar David menimpali. John yang merasa telat dan kikuk akhirnya berjalan ke arah pemuda yang lengannya dipiting David, lalu menonjoknya kuat-kuat. “Dasar banci! Itu yang pantas untukmu!” bentaknya. Sebenarnya lebih untuk menyalurkan rasa malu dan jengkelnya karena lagi-lagi didahului dua temannya. Pemuda itu bengong sesaat, lalu berontak agar lengannya dilepas. Ups, John tanpa sadar mundur selangkah. Bisa bahaya kalau pemuda ini benar-benar tersinggung karena ucapannya barusan. Tapi untunglah, David tetap kuat dalam posisinya sekarang, jadi pemuda itu masih dalam kontrol.

“Biarkan saja dia lepas. Toh, dia tidak akan berani melawan,” saran cewek berlipstik-ala-Taylor itu. David terlihat ragu. “Anda yakin, Miss?” tanyanya. Tapi lalu dilepaskannya pitingannya itu. Pemuda itu berjalan maju penuh emosi ke John, dan berlari menjauhi empat orang itu.

“Apa-apaan itu? Awalnya seram, terus endingnya mengecewakan,” cibir Greg. David mengangguk. “Cewek yang terperangkap dalam tubuh cowok,” ujarnya menyetujui. John berbalik menghadap cewek berlipstik-ala-Taylor, menanyakan pertanyaan yang ia ingin tanyakan daritadi, “Siapa Anda?”

      Bibir yang merah itu tersenyum miring. “Sera Frederico, agen FBI.”

 —

      Cheve membaca naskahnya berulang kali. Ia harus bisa.

Ketika akhirnya jam melewati tengah malam, ia memaksakan diri untuk bergelung di atas kasur, sambil tetap membawa lembar-lembar naskahnya. Untung besok ia boleh syuting mulai jam 4 sore, jadi tidak akan mengganggu jadwal kuliahnya. Oh, ya. Itu sama artinya semakin malam aku akan pulang dong, sesal Cheve. Bukannya tidak memprediksi hal ini sebelumnya, tapi tetap saja bakal melelahkan. Ah, ya udah deh, mau gimana lagi. Cheve mengambil laptop pink yang terletak di meja sebelah kasurnya, lalu menyalakannya. Baru saja ia akan mengakses sebuah situs, jemarinya ragu. Bagaimana kalau ternyata hasilnya mengecewakan? Bagaimana kalau nanti ia yang kecewa? Cheve tahu semua butuh waktu, tapi sepertinya kali ini ia serius mengerjakan hal ini. Ia sengaja nggak menggembar-gemborkan hal itu, karena rasanya malu banget. Aneh, kan? Pengin dilihat tapi malu. Please, realistislah sedikit, gerutu Cheve pada dirinya sendiri.

Tapi akhirnya dibukanyalah situs itu, dan dengan gembira Cheve melihat ia mendapat tanggapan.

[TBC]

Aaaaa senenggg akhirnya bisa update cerita ini jugaaa 😀

Oh ya, readers, maafffff bangetttt karena aku males riset dan lain-lain, jadinya kemarin2 dengan teledor aku mikir Harvard itu ada di Washington wth -__- Maafff banget yaaa! Karena aku kalian jadi sesat T_T Tapi mulai sekarang enggak deh ehehe. Aku bakal lebih teliti nulisnya hehe. Thanks for reading ya! Like and comment maybe? Thanks a whole heart!

love always,

Green

Leave a comment