The Missing Strings

The Missing Strings ♯

PG-Teen | Romance, Drama, Angst | Chaptered

1st: Inevitability

Malam ini kamu punya aku. Titik.”
Remang-remang lampu natal menenggelamkan hatinya yang hampir hancur kedalam air garam.
Perih.

Jika ia dulu tak begitu, jika saja ia dulu tersenyum dan mengamit tangannya. Ia menghembuskan napas berat yang entah kesekian kalinya.
Matanya mendongak, tepat ketika merasakan sensai dingin menjalari tubuhnya. Sebuah senyum tipis ia ukir. Salju. Orang itu sangat suka salju, kontras sekali dengan kepribadiannya yang selalu ceria bagai musim panas. Tangannya menengadah, membiarkan salju memenuhi telapak tangannya. Semua kenangan ini membuat tubuhnya ikut dingin seperti suhu di udara di sini. Ia menepuk-nepukkan kedua telapak tangannya, membersihkan salju yang ada. Ia beranjak menuju sebuah tempat.

Selamat datang!” sebuah sapaan hangat ia dengar. Matanya melihat sang empunya suara dengan cepat. Memandang orang itu dengan pandangan yang tak mampu diartikan. Orang yang ditatapnya menjadi gelisah dan menghentikan kontak mata dengannya. Dan ketika sudut mata orang itu mencoba meliriknya, ia sudah pergi. Tepatnya, duduk di salah satu meja di sebelah tembok kaca. Issa menerawang keluar, sebelumnya ia sudah memesan terlebih dahulu di kasir. Aneh memang, tapi ia tidak suka diganggu. Tidak suka. Saat ini orang itu pasti memelototinya dengan sebal dan berteriak, “Kamu itu apa-apa gak suka, jangan-jangan kamu juga gak suka sama aku, ya,” dan kemudian marah dengan manisnya.

Seseorang berdiri persis di depannya, menutup pemandangan yang ia lihat. “Minggir,” dengan suara beratnya. Masih bergeming di tempatnya…. Issa mendongak. Seorang cowok. Cowok itu dandannya berantakan, dan lucunya terasa familiar baginya. “Aku mau duduk.” Cowok itu bahkan gak berekspresi saat mengungkapkan maunya, lalu langsung saja duduk di hadapannya. Cowok itu melambai memanggil pelayan. Ia menatap cowok itu intens.
Ketika yang ditatap menoleh, Issa memberi isyarat ‘pergi’ dengan bibirnya, malah dibalasnya dengan sikap masa bodoh.

Pergi sekarang. Aku sudah ada janji.” ujarnya. Tapi cowok itu mengorder makanan tanpa menghiraukan. “Aku benar-benar ada janji!” Ia nyaris berteriak. Kenapa matanya juga terasa panas? Orang ini seakan menyindirnya…, tidak akan ada yang datang. Tidak ada lagi yang akan mengejutkannya dengan menututup matanya dengan telapak tangan. Orang itu, kenapa ia berjalan terlalu cepat, Issa tak mampu menyamai langkahnya.

“Aku hanya disini sebentar saja, mungkin sampai orang itu datang.” Jelas cowok itu. Ia baru saja berniat bertanya siapa nama cowok itu, namun diurungkannya, toh untuk apa.

Seorang pelayan cewek datang membawa senampan makanan. Ia meletakkan dua porsi mie kacang mung masing-masing di depan cowok iti dan Issa. “Saya hanya pesan satu,” ucap keduanya serempat. Pelayan itu menanggapi dengan senyuman penuh arti. “Jadi kamu pesan mie kacang mung juga?” Tanya cowok itu. Issa mengangguk singkat. Keduanya makan dalam diam, membiarkan pikiran mereka terbang tinggi.
“Kamu kenapa makan di mejaku?” Issa bertanya tanpa melihat cowok itu. “Ini kursi favoritku, ah, bukan, ini favoritnya,” ucapan itu dibiarkannya tak bermakna, dengan sensasi kepedihan disetiap katanya. Mata Issa langsung menatap cowok itu dengan sepercik kekagetan di matanya. “Kenapa?” Tanggap cowok itu. “Kamu siapa?”

“Hari ini aku ketemu cowok super ganteng, Sa! Dan tebak apa, dia yang ngajakin kenalan duluan!”

Cowok itu tahu ada emosi kuat yang terpancar dari manik mata Issa, ia hanya tidak dapat mengartikannya. “Kenapa? A… aku Mamoto.” Lalu dilanjutkan dengan ‘oh’ Issa. “Hanya… takut.., lupakan saja,” Issa menundukkan kepalanya, mengaduk mie-nya dengan garpu. Mamoto tersenyum miring. Ia, Issa memutuskan untuk menyudahi acara makan malamnya. Mubazir memang jika ia meninggalkan mie itu begitu saja, tapi akan lebih buruk jika ia memakannya tanpa sedikitpun rasa syukur.

Ia memberikan tiga lembar uang pecahan sepuluh ribu serta selembar lima ribuan. Petugas kasirnya tersenyum, “Maaf, uangnya kurang nona.” Katanya. Ia bingung. “Notanya.. boleh?” Kasir itu memberikan notanya. Gila, sepuluh ribu rupiah hanya untuk ongkos masak. Ia merogoh kantongnya, jackpot!, tak didapatinya sepeserpun uang. Ia mencoba mencari lebih teliti. Nihil. Senyum si petugas kasir rasa-rasanya sudah kering.

“Ini, mbak. Bayarkan milik orang ini juga.” Issa memicing, cowok itu lagi. Sebelum dirinya benar-benar sadar, cowok itu sudah melenggang keluar. Ah, masa bodoh. Issa bukanlah wanita klasik seperti di drama. Issa ya Issa.
Kaget bukan main, ketika keluar, kakinya disandung seseorang. Eh ternyata, si pelaku adalah Mamoto. “Aku anggap kerutan dahi itu tanda makasih. Tapi kamu tetap berhutang padaku.” Diakhirinya dengan senyum.
***
Dari atas sampai bawah udah siap. Issa pamit sama adiknya, mengecup dahi adik kecilnya itu lalu melambaikan tangannya. Adiknya tersenyum sambil balas melambai.
Marissa. Namanya.

Boleh tidak, namanya mulai sekarang adalah Marissa? Itu nama kita, kayak di sinetron, Sa”

Marissa bergerak dari posisinya serta berhenti melambai saat dirasanya sang kakak sudah jauh. Ia menyentuh matanya. Tersenyum pendek. Teringat belum sarapan, tangannya meraba lemari, mencari kotak kue kering yang baru dibeli kakaknya kemarin. Ia mengambil kue itu, mencari di mana tempat menyobek, dan disobeknya dengan pasti. Ia merasakan ada beberapa potongan yang terjatuh. Dibungkukkan badannya, memunguti potongan yang jatuh lalu memakannya. Memang tidak ada yang lebih enak dari apapun yang diberikan kakaknya.

Kakinya berjalan pelan seiring dengan tangan kanannya yang terus meraba tembok di sisinya. Ia berhenti begitu tangannya megenali tempat ini. Kamar kakaknya. Ia tersenyum lebar. Bahkan dipaksakan bibirnya agar mau tertawa. Karna ia bahagia, ya, bagaimanapun ia tetap bahagia karena kehadiran kakaknya. Dengan langkah perlahan ia berniat keluar rumah.
Diregangkannya badannya. Sinar matahari menyinari tubuhnya. Sinar matahari membuat badannya terasa panas. Ia menunduk ke kiri, dicarinya sebuah bunga. Bunga itu ia petik, harum benar wanginya. Marissa mengeluarkan tongkat dari kantongnya. Dipanjangkan tongkat itu, lalu mereka beriringan berjalan.

Sesekali didengarnya komentar orang di kiri kanannya, ia mencoba untuk tak menghiraukan sama sekali. Ia sudah terbiasa dengan itu, tapi anehnya orang-orang itu tidak terbiasa dengan ini, dirinya. Tiba-tiba saja ada bagian tubuhnya yang terasa sejuk. Air. Ada yang menyiram lengannya dengan air. Diikuti suara cekikikan anak kecil. Marissa tidak tahu mau apa lagi. Mungkin mereka tidak pernah melihat orang semacamnya, tapi ini termasuk kategori penghinaan ketimbang keheranan. Ia bisa mendengar ada bunyi air mengalir. Marissa menghela napasnya. Kenapa tidak basah? pikirnya. Dan baru ia sadari kini sesosok hangat ada didekatnya. “Pergi sana kalian. Tidak sopan sekali dengan orang yang lebih tua,” tergur orang itu lalu mendengus. Orang itu menoleh. “Kamu gak apa?” Marissa menggeleng. “Te…terima kasih… tuan?” Ujarnya. Cowok tadi terkekeh. “Kamu mau kemana? Biar aku antar saja.” Marissa merasakan pipinya bersemu merah, entah, ia rasa cowok ini memang gentleman, ditambah Marissa merasa sedikit tenang disisinya. Walau ada sedikit bagian dirinya yang merasa gelisah–ia seperti mengenali aroma tubuh orang ini. “Aku tidak tau mau kemana,” Marissa merutuki dirinya persis sedetik setelah ia angkat bicara. Tak seharusnya ia berbicara dengan orang asing.
“Bukan orang sini ya?” Marissa menggeleng sambil tersenyum kecil. “Aku tau tempat yang bagus… maksudku bukan bagus secara visual, mmph, pokoknya bagus deh,” cowok itu menggaruk kepalanya kebingungan. Marissa merasa bisa membayangkan ekspresi cowok itu, ia tertawa pendek. “Mau?” Belum sempat menjawab, tangannya sudah ditarik cowok tersebut.
***
“Kamu ajak aku kemana?!” Marissa berteriak dengan kuat. “Ke konser band rock favoritku!!” Balas si cowok. Marissa mendesah. “Kita keluar aja! Aku mohon!” Kini giliran Marissa yang menarik-narik lengan cowok itu. Ekspresi cowok itu menjadi suram. Ia membawa Marissa keluar dengan separuh hati. “Kenapa? Kamu gak suka? Atau tidak terbiasa?” Cowok itu bertanya dengan agak kesal. “Semuanya. Antar aku ke tempat tadi, tolong.” Cowok tadi baru sadar, Marissa punya sepasang mata yang indah. Sangat indah. Bagai sodalite, kristal biru, yang sangat memukau. “Katakan saja tempat yang ingin kamu kunjungi,” kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutnya. Marissa membungkam. “Kenapa?”

“Aku rasa tidak baik berkeliaran dengan orang asing.”
Cowok itu terhenyak.

“Kenapa kamu mau jadi si baik hati, apa motifmu?” Cowok itu dapat merasakan nada dingin dan sinis dalam kalimat Marissa. “Karena aku gak mau kena karma.” Cowok itu menatap Marissa dalam, seakan ingin melihat jauh sampai ke hatinya. Jujur saja, saat ini hati Marissa terasa hangat entah kenapa. Tapi ia takut. “Aku takut kamu adalah setan dengan kostum malaikat, kau tau.” Marissa mundur selangkah. “Apa kau takut aku melakukan ini?” Cowok itu maju. Marissa dapat merasakan pipinya dicengkram dan dipaksa mendongak. Kemudian ia merasakan nafas yang terhembus di dekat bibirnya. Cowok itu mempererat cengkramannya. Marissa tahu karena ketajaman pendengarannya, cowok itu menyeringai ke arahnya. Hatinya berdebar, karena amarah. Ia mangayunkan tongkatnya ke cowok itu–perkiraan dimana posisinya. “Au!” Cowok itu meringis dan sekejap kontak di antara mereka terlepas. Marissa berbalik, berjalan secepat yang ia bisa agar dapat meninggalkan cowok itu.

Cowok itu tinggal dalam diam. Ia tahu ia salah. Tapi kenapa perasaan ini datang lagi. Perasaan yang ingin dikuburnya dalam-dalam.
***
Marissa menghentakkan kakinya kasar. Keluat dari sana menguras kerja kerasnya. Ia memang tak sempurna, tapi bisa-bisanya lelaki itu memperlakukannya seperti ini? Harga diri Marissa sebagai seorang wanita, ralat, seorang manusia, terluka. Ini penghinaan besat. Bahkan kriminalitas atas tuduhan penculikan. Huh.

Ia berjalan pelan di gang sempit nan kumuh itu. Seseorang menghampirinya, ia rasa. “Marissa!” Detik itu juga pipi kanannya membara panas. Ia tahu suara itu, Issa. Kenapa kakaknya ada disini? Kenapa ia menamparnya? Issa menarik tangannya dengan kasar. Ia terpaksa berjalan tertatih, tongkatnya ia lipat lalu disimpannya dalam kantung mantelnya, mantel kesayangannya. Issa berhenti. Dihempaskanlah tangannya. “Aku gak tau harus berkomentat apa…,” Issa terdiam sejenak, “Selama dua puluh tahun kam jadi adikku, gak pernah kamu seperti ini. Kamu kenapa, Vela?” Sungguh ingin rasanya Marissa menangis. Kakaknya masih memanggilnya dengan ‘Vela’, kependekan dari Ravela, nama tengahnya.

“Kenapa?” ucapnya sangat pelan hingga nyaris tidak terdengar.

“Apanya? Sudah sewajarnya kan?”

Marissa tersenyum, “Masih belum, eoh?” Ia bergumam. Sejenak hening. Issa menatapnya tidak paham. “Tidak bisa diterima, ya? Semua ini.” Issa menghela napas panjang. “Sangat tidak bisa.”

Marissa terisak. Jelas saja kakaknya menjadi panik. “Ini sudah sepuluh tahun, kak!!”  Marissa mengenyahkan tangan kakaknya yang ingin merangkulnya. “Aku tidak baik-baik saja, kak! Hentikan semua sikap kekanakanmu! Ia sudah mati!! Lihat aku, lihat! Aku masih hidup… tidak bisakah kamu menerimaku?” Suaranya melemah. Ia menangis sejadinya sambil terduduk di jalan. Semua teralu berat untuk dipikul, terlalu rumit untuk dijelaskan, terlalu sakit untuk diucapkan. Semuanya, dari awal semuanya sudah salah.

Aku. Kamu. Dia. Orang itu.

Kita, secara ajaib dipertemukan dalam pertalian yang memuakkan ini.

 

note:

Ah senangnya bisa menghirup udara di Rainbow Ride lagi XD
Maaf atas hibernasi yang kelewat lama hihihi
Pendek ya? Ya sudahlah mau gimana lagi *ngerusuh*
Okay, makasih udah baca ^^

xoxo.
Orange ♥

2 thoughts on “The Missing Strings

  1. Orangeee daebakkkk!! :DDD
    Ketemu lg ya akhirnya huehehe. Ceritanya bagusss sih, yg adik kecil ternyata udah 20 thn ga nyangka huahaha. Tp sori msh nggak seberapa ngerti, soalnya msh rahasia2 smua sih ohohoho. Nggak papa deh, aku nunggu chap2 slanjutnya yaaa!! Fighting!!! ^;^

Leave a comment