Do You Believe In Magic?

“Kamu nggak pernah jatuh cinta, sih, makanya nggak tahu rasa sulitnya melupakan!”

Aku tertawa mendengarnya mengomel seperti itu. Kami sedang berdiskusi tentang suatu lagu karya anak bangsa, yang terkadang liriknya membuat merinding gelisah akibat tidak masuk akal (menurutku). Lagu itu dibawakan oleh seorang penyanyi pendatang baru Indonesia yang langsung melejit karena suara dan lagu yang cocok dengan selera anak muda zaman sekarang (menurutnya).

Sempat terlintas di benakku, “Lalu, apa kamu sudah pernah benar-benar jatuh cinta, lalu berpisah walau tidak ingin, dan merasakan sulitnya melupakan?” Hanya saja, kutahan pertanyaan itu karena aku tahu, dia akan terbimbang dengan keharusan menjawab dan keengganan membagi privasi.

“Nggak pernah ngerasain ajaibnya jatuh cinta, ya gini, nih!”

Aku tergelak mendengar omelannya yang berbuntut.

“Nggak juga, kali. Jatuh cinta emang nggak pake logika. Tapi kalo emang masanya habis, harus berpisah, ya udah nggak usah tetep setia. Nggak masuk akal banget!”

Giliran dia yang tertawa.

“Tahu nggak sih, kadang otak dan hati itu suka nggak sinkron? Logikanya, kita harus melepaskan dia dan jalan terus. Tapi, hati kita maunya tetep setia sama dia. Lebih jauh, pengennya dia juga diem-diem tetep ada rasa sama kita!” tambah teman lain.

Aku melipat lengan. “Nggak juga tuh. Kalo udah, ya udah. Nggak usah ngarep apa-apa,” balasku cuek.

Mereka mengerang frustasi yang kurespon dengan tawa puas.

Andai mereka tahu, aku juga pernah berada di posisi itu. Posisi dimana aku mau setia sampai mati pada orang yang sudah tak kutahu dimana keberadaannya. Posisi perempuan yang menulis begitu banyak kata hasil terinspirasi oleh orang yang menghilang karena telah menyelesaikan perannya. Posisi yang sangat tidak masuk akal, yang dimana orang lain akan menyebutnya tidak masuk akal.

Seperti aku menyebutnya saat ini.

Saat ini, aku hidup di dunia nyata. Dunia nyata disebut kejam oleh orang-orang berjiwa halus, karena dunia nyata mengganggu fantasi dan gambaran mereka mengenai bagaimana hidup dan cinta semestinya. Dunia nyata tidak selalu mempertemukan kembali pasangan yang masih saling cinta, dunia nyata tidak selalu memberikan akhir yang indah. Satu hal yang pasti: dunia nyata memberi hal-hal yang realistis, yang masuk akal.

Siapa bilang aku tidak pernah jatuh cinta? Pernah. Berkali-kali.

Siapa bilang aku tidak pernah merasakan sulitnya melupakan? Sering.

Aku pernah, ralat, aku berkali-kali jatuh dalam cinta, hingga rasanya malas untuk terjatuh lagi. Aku sering merasakan sulitnya melupakan, hingga malas untuk mengingat.

Dunia nyata telah mengajariku bahwa sekalipun aku jatuh cinta sejatuh-jatuhnya pada seseorang saat ini, suatu hari nanti aku akan terbangun dengan perasaan tawar terhadap orang itu. Bahwa sekalipun aku sulit untuk melupakan tentang dia saat ini, aku akan terbangun di suatu pagi dengan beban pikiran yang berbeda.

Dunia nyata mengajariku bahwa tidak ada yang abadi; tidak bahkan cinta.

Aku selalu terpukau dengan para pujangga yang mengagungkan belahan jiwa. Selalu terlintas di benakku, “Apakah mereka telah menemukan belahan jiwa mereka dan hidup bahagia bersama-sama?” Karena, jujur saja, aku pun mempercayai belahan jiwa.

Yang kuragukan adalah masa depan bersamanya.

Terkadang, bahkan belahan jiwa dapat berbeda pandangan hidup. Dia bekerja sesuai panggilan hati, aku bercita-cita menjadi seorang ahli dengan bayaran tinggi. Dia menganut ideologi lama, aku menganut ideologi kekinian. Dia mencinta dengan hati, aku mencinta dengan logika.

Apakah perbedaan dapat dipersatukan? Lebih rinci, apakah perbedaan harus disatukan?

Lalu, tahulah aku, bahwa terkadang dunia nyata lebih menyenangkan.

Tidak harus mempersatukan yang berbeda, berpisah tanpa embel-embel harapan yang tersisa, dan mencinta dengan logika adalah beberapa keuntungan hidup di dunia nyata. Bahwa terkadang, belahan jiwa bukanlah orang yang akan berada di sisi kita selama sisa hidup ini. Bahwa lebih mudah menyerah ketimbang berjuang dengan susah payah serta penolakan dari banyak pihak.

Maka, tidak selamanya orang yang kaulihat bersanding di pelaminan sedang berdampingan dengan belahan jiwanya. Mungkin saja mereka hidup di dunia nyata dan mencinta dengan logika. Mungkin saja mereka menikahi pasangannya karena dapat diterima akal dan dorongan berbagai pihak. Mungkin juga, suatu hari pasanganmu demikian.

Ups, tidak kok, aku berha

rap dia mencintaimu dengan hati. Sama sepertimu yang tidak hidup di dunia nyata.

Tidak, aku tidak kehilangan keajaibanku.

Aku hanya mengontrolnya agar dapat lebih diterima akal.

Leave a comment